01 November 2012
Alkisah pada zaman dahulu kala hiduplah seorang tukang batu yang sehari-hari bekerja memahat batu dikaki gunung. Setiap hari dia pergi pagi pulang petang untuk memecah batuan di kaki gunung dan dijual ke pasar dimana tempat segala jenis batu dijual. Suatu ketika, si tukang batu berdoa kepada Tuhan agar dinaikkan derajat hidupnya dan diangkat menjadi raja. Tuhanpun mengabulkan doa sang tukang batu dan menjadikannya raja. Seketika itu ia pun menjadi raja dan memiliki istana yang megah serta para prjurit yang gagah. Sang raja yang dahulu tukang batu kini menjadi raja yang memiliki kekuasaan dan wewenang atas suatu bangsa.
Ketika ia menjadi raja, si tukang batu tadi pun masih terbesit dibenaknya untuk menjadi matahari. Pasalnya matahari lebih berkuasa atas raja. Matahari mampu membuat raja kepanasan dan seluruh negeri menjadi kekeringan. Maka sang raja pun bermohon kepada Tuhan agar kiranya ia diubah lagi menjadi matahari. Lalu Tuhanpun mengabulkan doa sang raja. Ia berubah menjadi matahari. Sang raja yang tadinya memerintah rakyatnya, kini menjadi matahari yang menyinari bumi dan negerinya. Sang surya pun tidak lagi membuat negerinya kekeringan, ia membagi sinarnya merata ke seluruh pelosok negeri di dunia ini.
Akan tetapi matahari pun masih terkalahkan oleh awan. Awan mampu melindungi makhluk Tuhan yang ada di bumi dari sinar menyengat sang surya. Awan mampu memberikan kesejukan dan ketenangan bagi siapapun yang berlindung dibawahnya. Awan mempu memberikan itu semua bagi siapapun yg berlindung dibawahnya. Lalu sang surya pun meminta kepada Tuhan agar diubah menjadi awan. Tuhanpun mengubahnya menjadi awan.
Sang surya yang telah menjadi awan ini pun merasa sangat bahagia karena doanya dikabulkan Tuhan untuk berubah menjadi awan. Dengan menjadi awan, ia dapat melindungi negeri dan rakyatnya dari sengatan sinar matahari.
Tetapi hal ini tetap membuat awan selalu tidak puas dengan apa yang telah dimintanya kepada Tuhan. Suatu ketika, awan melihat ada sekumpulan angin ribut yang membuat negeri sang raja, yang kini menjadi awan, menjadi porak-poranda. Ternyata awan kalah dengan angin. Angin mampu menggeser awan yang tenang. Angin mampu memporak-porandakan bangunan yang gagah, angin pun mampu memberi kesejukan ditengah sengatan sang surya.
Sang awan pun meminta kepada Tuhan agar dijadikan angin. Karena dengan menjadi angin ia mampu menggeser awan dan memberikan kesejukan kepada seluruh makhluk di bumi. Tuhanpun menjadikannya angin.
Angin pun menjadi gembira karena Tuhan mengabulkan doanya kembali. Ia mampu terbang berhembus kemanapun ia suka. Ia mampu masuk kedalam setiap ruang yang tak dapat ditembus oleh makhluk-Nya di dunia. Ia mampu meluluhlantahkan apa yang ia suka. Ia pun mampu memberikan kesegaran dan kesejukan ditengah-tengah padang pasir yang panas menyengat.
Akan tetapi ada satu benda yang tak mampu digeser oleh angin disebabkan karena benda itu begitu besar dan kokoh diciptakan Tuhan. Dialah gunung. Angin tak mampu menggeser gunung meskipun ia telah berhembus kencang. Lalu angin pun berdoa kembali kepada Tuhan untuk menjadi gunung. Dengan sabar Tuhan lagi-lagi mengabulkan permintaan sang angin untuk menjadi gunung.
Ia pun kembali lagi merasa sangat bahagia karena Tuhan lagi-lagi mengabulkan doanya untuk menjadi gunung. Gunung tak mampu digeser oleh angin, gunung adalah paku bumi yang kokoh. Gunung juga dapat meluluhlantahkan penduduk suatu negeri bila ia telah mengamuk. Sang angin bersyukur kepada Tuhan telah diciptakan menjadi gunung.
Keeseokan harinya ketika ia menjadi gunung, datanglah seorang tukang batu dari sebuah desa untuk mengambil dan memecah batu di kaki gunung. Tukang batu itu datang dengan membawa sebilah martil dan kampak dan beberapa ranting kayu yang baru saja diambilnya dari hutan. Sang gunung terkejut melihat tukang batu yang berada tepat dikakinya dan mencuri batu-batuannya tanpa seizin sang gunung. Gunung tak mampu banyak bicara karena ia tidak diberikan kemampuan oleh Tuhan untuk berkomentar dan berbicara. Perlahan tapi pasti tukang batu dari desa kecil tersebut pergi pulang membawa batuan yang telah diambilnya dari gunung tersebut.
Apa yang mungkin bisa kita petik dari cerita diatas adalah bahwa Tuhan telah menciptakan kita dengan segala kelebihan dan kekurangan untuk disyukuri. Dia tidak pernah meminta kita mencapai kesempurnaan seperti Dia tetapi apa yang Dia minta adalah sesungguhnya sebuah kesadaran diri bahwa kita adalah makhluknya yang lemah di jagad raya yang maha luas ini. Jika Dia berkehendak, semua bisa terjadi sesuai dengan yang diinginkannya. Wallahu 'alam bisshowab
Tetapi hal ini tetap membuat awan selalu tidak puas dengan apa yang telah dimintanya kepada Tuhan. Suatu ketika, awan melihat ada sekumpulan angin ribut yang membuat negeri sang raja, yang kini menjadi awan, menjadi porak-poranda. Ternyata awan kalah dengan angin. Angin mampu menggeser awan yang tenang. Angin mampu memporak-porandakan bangunan yang gagah, angin pun mampu memberi kesejukan ditengah sengatan sang surya.
Sang awan pun meminta kepada Tuhan agar dijadikan angin. Karena dengan menjadi angin ia mampu menggeser awan dan memberikan kesejukan kepada seluruh makhluk di bumi. Tuhanpun menjadikannya angin.
Angin pun menjadi gembira karena Tuhan mengabulkan doanya kembali. Ia mampu terbang berhembus kemanapun ia suka. Ia mampu masuk kedalam setiap ruang yang tak dapat ditembus oleh makhluk-Nya di dunia. Ia mampu meluluhlantahkan apa yang ia suka. Ia pun mampu memberikan kesegaran dan kesejukan ditengah-tengah padang pasir yang panas menyengat.
Akan tetapi ada satu benda yang tak mampu digeser oleh angin disebabkan karena benda itu begitu besar dan kokoh diciptakan Tuhan. Dialah gunung. Angin tak mampu menggeser gunung meskipun ia telah berhembus kencang. Lalu angin pun berdoa kembali kepada Tuhan untuk menjadi gunung. Dengan sabar Tuhan lagi-lagi mengabulkan permintaan sang angin untuk menjadi gunung.
Ia pun kembali lagi merasa sangat bahagia karena Tuhan lagi-lagi mengabulkan doanya untuk menjadi gunung. Gunung tak mampu digeser oleh angin, gunung adalah paku bumi yang kokoh. Gunung juga dapat meluluhlantahkan penduduk suatu negeri bila ia telah mengamuk. Sang angin bersyukur kepada Tuhan telah diciptakan menjadi gunung.
Keeseokan harinya ketika ia menjadi gunung, datanglah seorang tukang batu dari sebuah desa untuk mengambil dan memecah batu di kaki gunung. Tukang batu itu datang dengan membawa sebilah martil dan kampak dan beberapa ranting kayu yang baru saja diambilnya dari hutan. Sang gunung terkejut melihat tukang batu yang berada tepat dikakinya dan mencuri batu-batuannya tanpa seizin sang gunung. Gunung tak mampu banyak bicara karena ia tidak diberikan kemampuan oleh Tuhan untuk berkomentar dan berbicara. Perlahan tapi pasti tukang batu dari desa kecil tersebut pergi pulang membawa batuan yang telah diambilnya dari gunung tersebut.
Apa yang mungkin bisa kita petik dari cerita diatas adalah bahwa Tuhan telah menciptakan kita dengan segala kelebihan dan kekurangan untuk disyukuri. Dia tidak pernah meminta kita mencapai kesempurnaan seperti Dia tetapi apa yang Dia minta adalah sesungguhnya sebuah kesadaran diri bahwa kita adalah makhluknya yang lemah di jagad raya yang maha luas ini. Jika Dia berkehendak, semua bisa terjadi sesuai dengan yang diinginkannya. Wallahu 'alam bisshowab
31 Oktober 2012
“Al jaddu bil jiddi wal hirmaanu bil kasali fanshab
tushib ‘an qariibin ghayatal ‘amali”
(Kesuksesan akan didapatkan dengan kesungguhan dan kegagalan terjadi
akibat kemalasan. Bersungguh-sungguhlah maka kamu akan mendapatkan dengan
segera apa yang kamu cita-citakan).
-Sholahuddin As-Supadi, wafat 764 H-
Pepatah Arab diatas cukup menjadi
cambuk bagi kita untuk meraih kesuksesan dengan penuh semagat. Meskipun kriteria sukses masing-masing orang
berbeda, sangat tergantung pada keinginan dan cita-cita masing-masing.
Seseorang yang telah berhasil mencapai sesuatu bisa jadi dianggap orang lain
belum mencapai apa-apa. Perbedaan pandangan ini sebenarnya wajar terjadi karena
perbedaan pola pikir masing-masing. Sukses adalah ketika orang mampu mewujudkan
apa yang ia inginkan. Seseorang yang bercita-cita ingin menjadi dosen,
misalnya, disebut sukses ketika ia mampu mewujudkan keinginannya itu dan
menjadi dosen. Disitulah kesuksesan dirinya. Begitu juga orang yang
bercita-cita ingin punya rumah. Ketika ia mampu mewujudkan rumah tersebut, ia
bisa mendefinisikan dirinya sebagai orang yang sukses.
Lalu bagaimana kiat-kiat untuk meraih
kesuksesan baik di dunia dan di akhirat? Berikut ada lima tips yang mungkin
bisa dicoba dalam menjalani kehidupan meraih kesuksesan. Pertama, bersihkan hati dan fikiran. Hidup manusia adalah
perjuangan untuk memenangkan pertarungan suci antara akal dan fikiran yang
sehat dengan hawa nafsu yang dimilikinya. Untuk bisa memulai pertarungan dengan
hawa nafsu dalam kehidupan sehari-hari, orang mesti mulai mengupayakan
kebersihan hati dan fikirannya. Mulailah untuk membersihkan hati dan fikiran
dari berbagai sifat dan fikiran negative tentang orang lain atau lingkungan
sekitar. Sebab kebaikan itu memancar dari diri sendiri kepada lingkungannya. Jika
seseorang dipenuhi dengan niat kebaikan dalam mengerjakan sesuatu, kebaikan itu
bisa menular kepada orang-orang dan lingkungan sekitarnya sehingga secara
bergelombang akan menimbulkan efek bola salju kebaikan yg semakin lama semakin
membesar.
Kedua, selalu berfikir positif. Sebuah pepatah Arab mengatakan; Jika kita melihat sesuatu
dengan positif, maka semuanya akan terlihat baik. Sebaliknya jika kita melihat
sesuatu dengan negative, maka semua yang tampak adalah kejelekan. Kunci utama
dari kesuksesan manusia adalah cara dia mengelola fikirannya. Jika kita ditimpa
musibah misalnya, cara paling mudah untuk memahami peristiwa tersebut adalah
dengan melihat makna dan pelajaran yang bisa diambil darinya. Dengan demikian
kita menyadari dengan benar bahwa dibalik semua persitiwa yang terjadi, yang
terburuk sekalipun, ada pelajaran bagi kita untuk menjadi lebih baik di masa
yang akan datang.
Ketiga, jalani hidup dengan optimis. Setiap orang pada dasarnya mempunyai kesempatan yang
sama. Yang membedakan adalah orang yang berani mengambil kesempatan yang
dimilikinya karena percaya dengan kemampuannya, sementara orang lain tidak
berani mengambil kesempatan yang ada karena tidak mempunyai kepercayaan diri
bahwa ia mampu melakukannya. Jangan pernah menyerah karena akan selalu ada
harapan! Hidup ini akan selalu menghadapi berbagai persoalan yang terkadang
datang silih berganti, hingga suatu saat, mungkin kita merasa berada pada satu
titik dimana kita tidak bisa lagi menghadapi persoalan tersebut. Jika kita
mendapatkan prestasi, sekecil apapun prestasi itu, syukuri dan nikmatilah! Jika perlu berilah reward (hadiah) untuk diri sendiri atas
prestasi yang pernah dikumpulkan. Ini akan memacu kita terus optimis.
Keempat, jangan takut gagal. Ketakutan Anda dalam mencoba merupakan awal dari kegagalan
Anda mencapai sukses. Cobalah untuk melakukan apapun yang Anda inginkan atau
Anda anggap perlu dalam mencapai jalan sukses dan jangan pernah takut melakukan
kesalahan, niscaya Anda akan menemukan kesuksesan tersebut. Cara paling mudah
untuk menghilangkan ketakutan dalam fikiran adalah dengan menghadapi ketakutan
itu secara langsung. Jika Anda takut menghadapi ketinggian misalnya, untuk
menghilangkan ketakutan tersebut cobalah langsung terbang di ketinggian atau
berdiri di gedung yang tinggi. Sama halnya jika Anda takut air; cara paling
mudah adalah dengan langsung menceburkan diri ke dalam air. Jangan takut gagal!
Kelima, bangun percaya
diri. Pepatah arab mengatakan, “Idza shadaqal ‘azmu wadhahas-sabiilu’. Artinya jika benar
kemauannya niscaya terbukalah jalannya. Tidak perlu malu ataupun menyesal jika apa yang kita usahakan belum
berhasil. Justru hal itu menjadi momentum bagi kita untuk bangkit dan melesat
jauh kedepan dengan kecepatan yan glebih tinggi. Pada akhirnya, percaya diri
itu tidak bisa dibeli dimanapun. Ia ada didalam hati dan fikiran kita
masing-masing. Cukuplah kita mengubah pola pikir, mencoba hal-hal baru dan
menghilangkan ketakutan-ketakutan yang tidak perlu. JIka masih kurang, nekat
saja. Pasti Tuhan tidak akan menceburkan kita kedalam satu masalah tanpa
memberikan jalan keluar. Selamat mencoba.
07 Agustus 2012
Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata arti kesederhanaan, keikhlasan, berdikari, ukhuwah islamiyah dan kebebebasan yang terpancar dari bumi kampung damai ini, Darussalam. Menjelang usianya ke 80 tahun, aku pun berada pada kelas senior satu tingakat di bawah senior tertinggi. Ya, kelas lima KMI memang diberikan amanah sebagai pengurus adik-adik juniornya di asrama, klub-klub olahraga, bahasa dsb. Tapi ada yang menarik bagiku pada tahun ini, tahun ketigaku di kampung ini. Tahun dimana aku akan merayakan Ramadhan dan Idul Fitri di kampung ini, tidak di kampung halaman bersama handai taulan.
Liburan pun dimulai, lonceng panjang tepat pukul 24.00 malam dibunyikan dengan lantangnya oleh kakak senior bagian keamanan. Pertanda bahwa segala disiplin sudah tidak berlaku lagi bagi mereka dari kelas satu sampai kelas empat KMI. Tapi bagi mereka kakak-kakak kelas lima dan enam, tunggu dulu, disiplin pondok tetap berlaku bagi mereka sebagaimana layaknya pada hari-hari biasa. Aku berkumpul bersama teman-teman seperjuangan dikamar yang sekaligus juga 'diwan' kami sebagai penggerak kursus-kursus bahasa seantero pondok. Kami habiskan malam dengan berkumpul bersama dengan kakak-kakak kelas enam yang sedang berkemas-kemas menyiapkan segala sesuatunya untuk keprluan study tour kelas akhir.
Waktu berlalu, hari berganti, pertanda bahwa sebentar lagi kami akan memasuki awal ramadhan di tahun ini. Dalam hati aku berjanji, ini adalah ramadhan pertama dan terakhirku di tempat ini. Aku tidak mau ramadhan lagi disini, tidak mau dan tidak akan, gumamku. Ada kebiasaan unik di pondok modern, bahwa ketika menjelang berbuka puasa, para santri senior yang bermukim di pondok, menunggu kurma cuma-cuma yang akan dibagikan oleh bagian ta'mir masjid setengah jam menjelang berbuka puasa. Uniknya, hampir semua santri ngantri berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan satu bungkus kurma plus satu gelas aqua plastik minuman dingin khas buatan 'ta'mir'.
to be continued
Momentum puasa identik dikatikan dengan
dalil dari Surat Al-Baqarah 183-187. Namun demikian bila kita perhatikan, tidak
keseluruhan ayat tersebut mengulas tentang puasa. Pada ayat 184; syahru-romadhoona alladzi unzila fiihi-l-qur’ana
hudan linnaasi wa bayyinaatin mina-l-hudaa wal furqaan. Ayat ini mengulas
tentang kitab suci kita Al-Qur’an. Oleh karena itu, secara garis besar, surat
Al-Baqarah 183-187 tersebut tidak hanya berbicara tentang puasa akan tetapi
lebih dari itu tentang kitab suci Al-Qur’an dan ketuhanan.
Bila
kita telisik, ada kata-kata hudan dan
wa bayyinaatin mina-l-huda wal furqaan pada
frasa ayat 184 tersebut. Artinya Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi manusia. Karena Allah tidak main-main dalam menciptakan manusia dan seisi
jagad raya. Karena tidak ada ciptaan-Nya didunia ini yang sederhana. Alam
semesta ini merupakan maha karya sang pencipta yang tidak sederhana. Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi umat manusia (linnas), bukan
untuk umat Islam saja, akan tetapi umat manusia secara keseluruhan (general). Akan tetapi mirisnya kita umat
Islam di Indonesia yang beragama Islam ini adalah tidak adanya keseriusan
beragama.
Keseriusan
beragama yang saya sebut disini adalah ditengah-tengah padatnya populasi umat
Islam di Indonesia sebagai kaum mayoritas di negeri ini, hanya berapa persenkah
yang mengerti dan paham terjemahan dan tafsir Al-Qur’an secara komprehensif?
Sudah berapa persenkah kita umat Islam di Indonesia ini yang mengamalkan dari
uraian tafsir tersebut? Mirisnya lagi, sedari kecil kita terlalu sering dicekoki dengan iming-iming nominal pahala dalam membaca
Al-Qur’an. Sehingga kita terjebak dalam paradigma angka yang selalu
mengkalkulasikan nominal pahala membaca Al-Qur’an dan tujuan akhirnya adalah
masuk surga. Bagaimana kita akan masuk surga bila kita tidak dapat memahami dan
mengamalkan isi dan kandungan Al-Qur’an? Bagaimana kita akan masuk surga sementara
kita tidak mengerti dan paham akan apa yang kita baca? Inilah yang saya sebut
ketidakseriusan kita beragama di Indonesia khususnya.
Hal
ini diperparah lagi dengan kondisi ulama kita dewasa ini. Lihatlah layar kaca
kita pada setiap bulan Ramadhan yang selalu diisi dengan ceramah-ceramah yang
penuh guyon dan tidak serius? Agama adalah titah Tuhan dengan keseriusan! Bukan
sebagai bahan guyonan dan lelucon semata meskipun terkadang itu salah satu
wasilah dalam menyampaikan ayat-ayat-Nya. Dewasa ini, ulama yang diterima
ditengah-tengah masyarakat adalah dia yang pandai membuat lelucon
ditengah-tengah ceramahnya, dia yang pandai mengombinasikan fenomena
disekelilingnya menjadi bahan lelucon dalam ceramahnya. Sungguh sebuah fenomena
yang tidak ada keseriusan didalamnya! Padahal Allah SWT menurunkan Al-Qur’an
tidak dengan lelucon sedikitpun.
Menurut
hemat saya, ini merupakan masalah serius bangsa ini yang merupakan penganut
Islam terbesar di dunia. Kita hanyut dalam animo masyarakat yang lebih menyukai
lelucon dan guyonan, kita hanyut dalam keterbuaian sebagai negara dengan
penduduk Islam terbesar. Kita hanyut dengan semua itu yang membuat arah dan
tujuan dakwah pun semakin buram. Umat semakin sulit membedakan yang hitam dan
putih, semuanya serba abu-abu karena keterbuaian kita dan ketidakseriusan ulama
dalam mengejawantahkan ayat-ayat-Nya. Pada akhirnya, dalam sebuah pengambilan
keputusan dalam lingkup yang lebih besar, umat hanya bisa mengatakan ‘kami ikut ustadz si Fulan’ karena
kebutaan umat akan semua ajaran-ajaran Islam yang tersurat dalam Al-Qur’an.
Apa
yang ingin saya tegaskan adalah bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam,
bukan hanya sekedar dibaca teks Arabnya akan tetapi lebih dari itu mengkaji
terjemahan dan tafsirnya juga merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap
umat Islam. Apa yang dilakukan oleh orang-orang di Benua Eropa saat ini adalah
mereka membaca Al-Qur’an akan tetapi bukan teks Arabnya melainkan terjemahannya
dalam bahasa mereka. Sehingga setelah membaca terjemahan Al-Qur’an tersebut, lahirlah
muallaf-muallaf baru yang tanpa paksaan masuk kedalam Islam. Allahu Akbar! Semoga
kita termasuk kedalam umat yang tidak hanya pembaca Al-Qur’an tetapi juga
memahami dan mengamalkan isi dan kandungan dari Al-Qur’an itu sendiri sehingga
jelaslah perbedaan antara umat Islam yang mengamalkan isi dan kandungan Al-Qur’an
dan yang tidak. Inilah yang dimaksud dalam akhir ayat 184 tersebut; wa bayyinaatin mina-l-hudaa wal furqaan.
Langganan:
Postingan (Atom)