19 November 2011

KH. Imam Zarkasyi, Pembaharu Pendidikan Pesantren Modern di Indonesia

Sekilas tak banyak yang tahu tentang tokoh yang satu ini. Sepak terjangnya di dunia pendidikan sudah tidak diragukan lagi dikalangan para santri dan alumni Gontor. Sosoknya yang sederhana dan bersahaja mampu menjadi inspirasi bagi siapapun yang pernah mengenyam pendidikan bersamanya dan menikmati tulisan-tulisannya. Dialah KH. Imam Zarkasyi salah satu dari tiga pendiri Pondok Modern Gontor Ponorogo yang hingga kini terus menelurkan pejuang-pejuang yang selalu berkontribusi untuk negeri.

Pak Zar, begitu beliau dahulu disapa oleh santri-santrinya, memang sosok yang berkharisma tinggi. Kesabarannya dalam mendidik, kesederhanaannya dalam pola hidup serta ketulusannya dalam mentransfer ilmu kepada santrinya merupakan salah satu pemikat mengapa Pak Zar selalu hidup dihati santri-santrinya. Pak Zar memang telah tiada, akan tetapi ajaran-ajarannya tentang nilai-nilai kehidupan-kebangsaan akan tetap hidup dihati para santri dan alumni yang mencintainya.

Lahir di desa Gontor pada 21 Maret 1910 silam, Zarkasyi kecil mulai menapaki jenjang pendidikannya di Sekolah Dasar Ongko Loro, Jetis, Ponorogo. Tak hanya itu, sosok yang cinta ilmu ini juga mengenyam pendidikan di tiga tempat yang berbeda yaitu Pondok Pesantren Josari Jetis, Ponorogo, Pondok Joresan Ponorogo, Sekolah Mamba’ul Ulum dan masih di kota yang sama pula meneruskan ke sekolah Arabiyah Adabiyah pimpinan Ustadz M.O. Hasyimi sampai tahun 1930. Selama belajar di sekolah-sekolah tersebut (khususnya sekolah Arabiyah Adabiyah) beliau mendalami bahasa Arab. Diantara guru yang mendidik, membimbing dan mendorong beliau selama belajar di Solo adalah Ustadz Hasyimi, bekas pejuang di Tunisia. Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, beliau meneruskan ke Kweekschool di Padang Panjang sampai tahun 1935 (Biografi Trimurti: 2007:13).

Proses perjalanan pendidikan Pak Zar memang panjang. Demi ilmu, beliau rela menapaki kaki hingga ke tanah Sumatera, tepatnya di Padang Panjang yang kala itu memang menjadi central of excellence pendidikan nusantara. Disana beliau bertemu dan berguru dengan alim ulama terkenal seperti KH. Mahmud Yunus. Setelah tamat belajar di Kweekschool, beliau diminta menjadi direktur Perguruan tersebut oleh gurunya, KH. Mahmud Yunus. Tetapi Pak Zar hanya dapat memenuhi permintaan dan kepercayaan tersebut selama satu tahun (tahun 1936), dengan pertimbangan meskipun jabatan itu cukup tinggi, tetapi ia merasa bahwa jabatan tersebut bukanlah tujuan utamanya setelah menuntut ilmu di tempat itu. Imam Zarkasyi dinilai oleh Mahmud Yunus memiliki bakat yang menonjol dalam bidang pendidikan, namun ia melihat bahwa Gontor lebih memerlukan kehadirannya.

Sepulang merantau dari Padang Panjang dan menyerahkan jabatannya sebagai direktur Pendidikan Kweekschool kepada KH. Mahmud Yunus, Pak Zar kembali ke Gontor. Pada tahun 1936 itu juga, genap sepuluh tahun setelah dinyatakannya Gontor sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, Pak Zar segera memperkenalkan program pendidikan baru yang diberi nama Kulliyatu-l Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya. Inilah cikal bakal Gontor baru dengan sistem modern yang telah dirancang oleh Pak Zar.

Perjalanan sejarah Pondok Modern Gontor sekalipun mengalami pasang surut. Lembaga Pendidikan yang berdiri tahun 1926 dan telah diwakafkan untuk umat Islam pada tahun 1958 ini kaya akan hitam-putihnya pengalaman dalam mendidik santri-santrinya. Sejak berdirinya 85 tahun yang lalu, Gontor telah banyak menyumbangkan pahlawan pendidikan, budayawan, intelektual dan negarawan untuk bangsa ini. Sebut saja Almarhum KH. Idham Chalid yang baru-baru ini diresmikan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pahlawan nasional, intelektual Almarhum Nurcholis Madjid yang biasa disapa Cak Nun, budayawan Emha Ainun Nadjib hingga negarawan Hidayat Nur Wahid merupakan hasil gemblengan Pak Zar di Gontor.

Dalam mendidik santrinya, Pak Zar menanamkan lima spirit yang harus dimiliki seorang santri yaitu keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah islamiyah dan kebebasan dalam jiwa santri-santrinya yang biasa juga disebut Panca Jiwa Pondok Modern Gontor. Spirit inilah yang menjiwai diri santri sehingga segala sesuatu dari apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang dirasakan adalah pendidikan.

Perjalanan karier Pak Zar tidak diragukan lagi. Beliau telah banyak menjabat dan mengantongi penghargaan baik nasional maupun internasional. Pak Zar pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar Kementerian Agama (1951-1953), Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953), Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama, Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan (1957). Selain itu pada tahun 1959, Pak Zar diangkat menjadi Anggota Dewan Perancang Nasional oleh Presiden Soekarno. Dalam percaturan internasional, Pak Zar pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Soviet, pada tahun 1962. Sepuluh tahun kemudian, ia juga mewakili Indonesia dalam Mu’tamar Majma’ Al-Bunuth Al-Islamiyah (Muktamar Akademisi Islam se-Dunia), ke-7 yang berlangsung di Kairo. Di samping itu, beliau juga menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat.

Gagasan dan Cita-cita Pembaharuan KH. Imam Zarkasyi

Sebelum mendirikan lembaga pendidikan pesantren dengan corak yang modern, Pak Zar bersama pendiri Pondok Modern Gontor lainnya telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Ada empat lembaga pendidikan yang mereka kaji dalam rangka studi banding yang kemudian dikenal sebagai “Sintesa Pondok Modern”.

Pertama, Universitas Al-Azhar di Mesir, merupakan sebuah lembaga pendidikan swasta, dengan kekayaan wakafnya yang luar biasa, mampu bertahan bahkan berperan dalam apapun dalam perubahan waktu dan masa. Al-Azhar ini bermula dari sebuah masjid sederhana namun kemudian dapat hidup ratusan tahun dan telah memiliki tanah wakaf yang mampu memberi beasiswa untuk mahasiswa seluruh dunia. Kedua, Pondok Syanggit di Afrika Utara, dekat Libya. Lembaga ini dikenal karena kedermawanan dam keikhlasan pengasuhnya. Pondok ini dikelola dengan jiwa ikhlas dari pengasuhnya di samping mendidik murid-muridnya juga menanggung kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Ketiga, Universitas Muslim Aligarh yang membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan menjadi pelopor kebangkitan Islam di India. Universitas ini dikenal sebagai pelopor pendidikan modern dan revival of Islam. Keempat, masih juga di India yaitu Perguruan Santiniketan yang didirikan oleh seorang filosof Hindu, Rabendranath Tagore. Perguruan ini terkenal karena kedamaiannya meskipun terletak jauh dari keramaian tetapi dapat melaksanakan pendidikan dengan baik dan bahkan dapat mempengaruhi dunia. Kedamaian di perguruan tersebut mengilhami Darussalam (kampung damai) untuk Pondok Pesantren Darussalam Gontor.

Apa yang telah dirumuskan Pak Zar bersama beberapa pimpinan Pondok Pesantren Gontor hampir dari satu abad silam merupakan aset yang tidak ternilai harganya untuk Indonesia sekarang. Gontor dengan konsep pendidikannya yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan telah membawa angin segar ditengah hiruk pikuk mencari konsep pendidikan karakter negeri ini. Kita sadari bersama bahwa pendidikan kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Akan tetapi ini bukanlah alasan bahwa kita tidak mempunyai jati diri pendidikan di negeri ini. Bangsa ini memiliki sistem pendidikan yang asli Indonesia yang sejak dahulu kala telah ada di bumi ibu pertiwi ini, itulah pendidikan pondok pesantren. Seiring dengan perkembangan zaman, pondok-pondok pesantren yang tersebar di seluruh pelosok negeri tersebut masih terus menyumbangkan kader-kader pemimpin untuk negeri ini dikemudian hari. Saya yakin, masih ada Pak Zar lainnya di seluruh pelosok negeri ini yang terus berjuang untuk kemajuan negeri tercinta Indonesia. Wallahu a’lam bisshowab.

01 Juni 2011

Pasarku Sayang, Pasarku Malang

Satu dekade berlalu sudah sejak masa kepemimpinan mantan Walikota Medan, Drs. Abdillah, Ak, M.BA. Kala itu Medan bermandikan cahaya dimalam hari bak lautan kunang-kunang yg bersatu padu memancarkan pesonanya di setiap malam tiba. Warga kota pun menyambut antusias dengan adanya perubahan yg dialami Medan setelah sekian lama stagnan dari kemajuan. Hotel berbintang mulai bermunculan, mal-mal mewah pun mulai mengembangkan sayap bisnisnya di tanah deli ini. Indah memang, tapi keindahan itu dibalut dengan kepedihan yang mendalam bagi warga kota Medan. Pasalnya gemerlap keindahan lampu malam kota itu dibebankan pada rekening listrik warga.

Satu dekade jua telah usai, mengingatkan kita kembali kepada masalah kota yang menuntut pemerintah agar segera mengatasinya. Tanah melayu ini memiliki banyak potensi besar di segala bidang terutama perdagangan. Maka, pasar merupakan infrasturktur terpenting dalam mendukung kegiatan ini. Salah satu pasar dari sekian banyak pasar di Kota Medan yang selalu menimbulkan polemik di masyarakat adalah Pasar Sukaramai Medan. Pasar yang terletak di Jl. A.R. Hakim ini baru saja terbakar lima bulan silam dan belum ada perbaikan yang dilakukan oleh pihak terkait di Pemerintah Kota.

Pemerintah memang harus bekerja ekstra keras demi tercapainya kenyamanan dan keamanan bagi warganya terutama warga Kota Medan. Pasalnya, lingkungan sekitar pasar yang terbakar mulai menimbulkan bau tak sedap bagi pengguna jalan. Ditambah lagi dengan volume air hujan yang menggenangi jalan-jalan berlubang seakan melengkapi tugas pemerintah kota ini untuk lebih serius menangani masalah kota terutama pasar.

Permasalahan serius yang mendesak untuk diselesaikan saat ini adalah bagaimana para pedagang yang notabene rakyat kecil bisa kembali berdagang dan kemacetan yang selalu menghantui badan jalan bisa berkurang walaupun tak mungkin untuk dihilangkan. Sepertinya para wakil rakyat kita perlu mengadakan studi banding juga ke negara tetangga tentang pengelolaan sampah yang baik dan benar tanpa mencemari lingkungan dan bukan hanya studi banding tentang moral yang beberapa waktu lalu diadakan di Yunani. Satu sisi miris memang melihat kota yang padat penduduk ini, warganya harus tidak nyaman ketika berbelanja di pasar ditambah dengan kemacetannya.

Dibakar atau Terbakar?

Masih menjadi teka-teki yang belum terpecahkan bagi warga kota untuk memastikan apakah Pasar Sukaramai dibakar atau terbakar. Kapolsekta Medan Area, AKP Aries Sutianingsih yang ditemui di lokasi kejadian menegaskan, api diduga berasal dari arus pendek setelah petir menyambar. “Dari informasi yang kita dapat, awal api berasal dari sambaran petir yang mengakibatkan arus pendek dan membakar ruko pada pukul 19.30 Wib,” ujarnya (SUMUT POS). Walaupun tak terdapat korban jiwa namun kerugian yang dialami berkisar ratusan juta rupiah. Para pedagang meminta PEMKO MEDAN segera merelokasi mereka ke tempat lain agar bisa menggelar kembali barang dagangannya.

Sumber lain menyebutkan sejauh ini pihak terkait seperti mantan Direktur Utama PD Pasar dan Direktur Operasional telah diperiksa Kajari Medan. Hal ini terkait pembongkaran Pasar Sukaramai Medan. Lalu apakah Sukaramai dibakar? Masih menjadi tugas bagi aparat penegak hukum untuk memburu siapa dalang sebenarnya dari terbakarnya Pasar Sukaramai Medan.

Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional, Ahmad Arif mengatakan dugaan Pasar Sukaramai itu dibakar semakin kuat, dengan adanya hasil pemeriksaan Tim Laboratorium Forensik (Labfor) Mabes Polri Cabang Medan. Menyusul terbitnya hasil laboratorium forensik kepolisian atas kebakaran Pasar Sukaramai, kalangan DPRD Medan meminta penyidik memburu tersangka yang diduga kuat menjadi penyebab kebakaran. "Dengan hasil Labfor yang bertentangan dengan keterangan yang diberikan Pemko Medan, Kepolisian harus mengusut tuntas dalang dari pelaku kebakaran Pasar Sukaramai secara tuntas," katanya di Gedung Dewan, pada 04 Maret 2011.

Lebih lanjut lagi dia menambahkan, kebakaran Pasar Sukaramai merupakan tanggung jawab Pemko Medan khususnya dalam hal ini PD Pasar Kota Medan. Kebakaran ini sungguh membuat kerugian yang cukup besar bagi Pemko Medan dan para pedagang yang ada di Pasar Sukaramai. "Dengan begitu, masyarakat tentu berharap Polresta Medan bisa mengungkap penyebab kebakaran ini," sebutnya.

Apapun sebab dari terbakarnya Pasar Sukaramai Medan, Pemerintah harus pro-aktif dalam menyelesaikannya. Sudah saatnya Medan dikelola secara lebih profesional tanpa mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan alam sekitar. Jikalau memang diperlukan studi komprehensif tentang pasar ke negeri sebrang untuk kebaikan Kota Medan, nisacaya rakyat takkan sungkan untuk menyumbangkan sedikit dari uangnya demi terciptanya Kota Medan yang aman tentram dan nyaman.

07 Maret 2011

Moment Pertemuan Pra Perdana Forum Lingkar Pena

Semua wajah tampak ceria. Semua bibir tersimpul manis memancarkan simetrisnya kesenangan. Suara tawa terdengar bersahut-sahutan, bercanda ria dalam momen ta'arufan. Ya, hari ini adalah hari pertama kami berkumpul di wadah ini. Wadah yang menampung kami untuk menyalurkan segenap pemikiran dan isi hati kami melalui mata pena.
Pagi itu begitu cerah, secerah hati kami menerima beberapa wejangan dari kak Fadli, Ketua FLP Sumut. Aku datang terlambat pagi itu karena baru saja menyelesaikan tugasku menjadi peserta dalam Latihan Instruktur Dasar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Medan. Untunglah tak terlalu lama tenggang waktu telat ku dengan dimulainya acara di Rumah Cahaya. Senang rasanya bergabung bersama penulis-penulis muda ini. Anak-anak bangsa yang masih mau menyisakan waktunya dengan membaca dan menulis serta berdiskusi bersama. Sesdi pertama dimulai dengan perkenalan oleh Kak Fadli sebagai ketua. Tapi sebelum beliau memulai memperkenalkan dirinya, ada teknik perkenalan yang harus diikuti oleh semua anggota. Kami semua penasaran dengan teknik apa yang akan diberikannya kepada kami . Apakah ini akan menjebak kami? Atau hanya sebuah akal-akalan saja? Semua mata anggota baru ini pun tertuju padanya seperti dalam instruksinya yang pertama.
Kemudian Kak Fadli melanjutkan pembicaraannya dengan mengatakan, "Setiap anggota yang akan memperkenalkan dirinya, agar menerima pulpen yang saya pegang ini dan menyebutkan dari siapa dia menerima pulpen tersebut". Kontan saja semua kawan-kawan menggerutu. Aku yang berada pada posisi ketiga, tidak merasa terlalu terbebani karena hanya dua orang saja yang harus aku ingat dari nama mereka setelah menerima pulpen dari teman disebelahku ini. Tapi kawan-kawan yang duduk dibelakang sana semuanya menggeliat bak cacing kepanasan karena harus menghafal nama-nama teman baru sepanjang arah pulpen berjalan.
Proses perkenalan pun berlalu, kini tibalah saatnya sesi permainan dengan kak Dewi. Kami semua penasaran dengan permainan yg akan diberikannya. Dalam hati kami bertanya-tanya apakah permainan ini akan mempermalukan kami nantinya atau hanya game biasa. Ternyata permainan ini sungguh menarik. Kami disuruh mengambil potongan-potongan kertas yg didalamnya ditulis nama-nama hewan. Setelah mengambil potongan kertas tersebut, kami dilaranbg untuk membukanya langsung, tapi kami harus menjaga ketika membukanya agar teman disamping kami tidak tahu akan hewan apa yang akan kami dapatkan.
Aku buka kertasku dan aku melihat tulisan kodok. Ya ampun, berarti aku harus berakting seperti kodok nih, gumamku. Lalu kami semua bersuara laksana suara hewan yg ada pada kertas kami masing-masing. Kontan saja ruangan yg kami tempati itu bak kebun binatang yang penuh akan binatang-binatang yang mencari teman-temannya.
Lalu aku menemukan teman-teman kodokku'. Senang rasanya senasib sepenanggungan menjadi kodok. Instruksi selanjutnya datang dari mba Dewi agar kami saling mengenal lebih dalam lagi akan teman-teman sekelompok kami. Kelompok yang dapat menguasai tentang ciri-ciri temannya dengan baik, banyak dan benar, maka dialah yang menang. Ada kelompok monyet, kodok, ayam, itik, burung dan kambing.
Setelah diberi kesempatan konsolidasi, kamipun ditanya secara acak. Tibalah saat dari kelompokku. Mba Dewi menanyakan temanku tentang aku. Hmm, lumayan baik penguasaannya tapi sayangnya masih terdapat sedikit kesalahan yang membuat kelompok kami kalah. Permainan ini dimenangkan oleh kelompok ayam karena berhasil menguasai data tentang temannya dengan baik, banyak dan benar.
Acara pun usai, pertemuan diakhiri dengan kumpul bersama berfoto ria bersama kakak-kakak senior FLP Sumut. Alangkah indahnya pertemuan pra-predana ini. Semoga angkatan IV ini dapat sukses dalam dunia tulis menulisnya kelak.



30 Januari 2011

Filosofi Jodoh


Suatu ketika saya berjalan-jalan ke sebuah pasar dimana pusat segala macam sepatu dijual. Saya ingin mencari sepatu yang pas dan cantik untuk ukuran kaki saya. Saya berkeliling-keliling melihat di sekitar pasar. Sampai akhirnya saya berhenti pada sebuah toko yang didalamnya ada menjual kriteria sepatu yang saya inginkan. Saya memperhatikan kondisi sepatu yg saya inginkan tersebut dengan cermat hingga akhirnya saya memutuskan akan membelinya. Seketika itu juga teman saya berkata, "jangan terburu-buru dalam memutuskan sesuatu nanti kau akan mnyesal, mari kita keliling-keliling dulu melihat-lihat mungkin saja ada yg lebih baik dan bagus".

Nasihat teman saya tadi saya terima dan kami pun bergerak melintasi pusat keramaian tadi mencari-cari sepatu yg mungkin ada lebih baik. Di dalam hati saya mengkhawatirkan sepatu yang akan saya beli tadi telah dibeli orang. Padahal saya ingin sekali memiliki sepatu tadi. Ditengah jalan teman saya tadi pun berpesan lagi, "kalau nanti jodoh, sepatu itu pasti kan jadi milikmu kok". Ternyata benar, tak lama setelah kami berkeliling-keliling, saya menemukan sepatu yang lebih baik dan lebih bagus kualitasnya dengan harga yang pas di kantong tentunya dari sepatu yang sebelumnya saya lihat tadi. Lalu saya pun langsung menyambangi sang pemilik toko tersebut dan tawar-menawar pun terjadi. Setelah menyepakati harga, saya pun membayar sepatu tersebut. Alangkah senangnya hati ketika menemukan sesuatu yang pas di hati, gumamku.

Sebelum kami pulang, saya berkata pada teman saya tadi, "kita pulangnya lewat toko yang pertama tadi ya!"
Teman saya pun mengamini permintaan saya tadi. Ketika kami melewati toko pertama tadi, mata saya masih tertuju kepada sepatu yang pertama saya lihat. Subhanallah, ternyata sepatu itu masih ada di tempatnya dengan rapi. "Tuh kan kalo jodoh gak kemana!", sindir teman saya.

Jodoh memang tidak bisa di prediksi oleh akal-fikiran manusia. Bisa jadi yang dirasakannya sekarang adalah yang terbaik untuknya, padahal itu belum tentu yang terbaik di mata-Nya. Belum tentu juga yang sudah disenanginya sekarag ini adalah yang paling sesuai untuknya, padahal belum tentu itu yang sama dengan yang direncanakan-Nya. Kalau tidak karena saran dari teman saya tadi mungkin saya tidak bertemu dengan 'jodoh' saya ini, sepasang sepatu yang sangat saya cintai.

Oleh karena tidak ada manusia yang dapat mengetahui tentang rahasia jodoh, maka tidak sepatutnya lah kita terlalu mengumbar-umbar bahwa yang sekarang kita miliki, sukai, cintai adalah yang terbaik untuk kita. Mengingat segala sesuatunya telah tertuliskan di 'lauh mahfudz' sana. Allah itu Maha tahu yang terbaik bagi kita dan Dia tidak akan memberikan sesuatu yang kita tidak membutuhkannya. Keyakinan akan segala keindahan yang telah dijanjikan-Nya bagi orang-orang yang sabar inilah yang perlu ditanamkan pada generasi muda.
Wallahu 'alam bisshowab.

28 Januari 2011

Indonesia Ditengah Pusaran Sekulerisasi

Sekuler dalam kamus Bahasa Indonesia berarti bersifat duniawi, atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohaniaan). Sedangkan sekulerisasi adalah hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Penulis sengaja mengomentari sedikit tentang sekulerisasi di Indonesia karena arus globalisasi yang demikian kuat dewasa ini memaksa kita tanpa kita sadari telah membawa kita ke jurang sekulerisme. Mengapa sekulerisme berbahaya bagi kita? Karena ajaran sekuler memisahkan antara moralitas dan hukum agama, yang pada akhirnya akan berujung pada kesemrawutan akhlak manusia. Dan buta akan yang haq dan yang bathil.

Begitu kuatnya arus sekulerisasi di Indonesia hingga membuat kita masyarakat awam tidak menyadarinya. Sebagai contoh kecil saja, acara-acara yang beredar dilayar kaca kita misalnya, bukan rahasia umum lagi pakaian tank top dipakai ketika acara pertemuan-pertemuan formal atau gaun-gaun yang serba terbuka sehingga memudahkan bagi siapa saja yang melihatnya disengaja ataupun tidak. Ini tanpa disadari telah mempengaruhi pola fikir kita. Kalau kita berkaca pada sejarah bangsa ini yang sudah lebih dari enam dasawarsa merdeka, pastilah kita bersyukur akan betapa banyak nikmat- Nya yang tak terhitung jumlahnya yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita semua. Mengapa tidak? Orang tua kita dulu, tidak pernah mengajari anaknya akan hal-hal yang bersifat negatif. Apalagi mentransfer nilai-nilai dan budaya barat. Orang tua kita dulu masih memegang teguh nilai-nilai ketimuran dan norma-norma adat warisan nenek moyang kita. Tapi sekarang seiring kuatnya arus globalisasi yang megguncang Indonesia kita yang tercinta ini, teknologi semakin maju, pendidikan semakin tinggi, dan ilmu pengetahuan sudah tak terhitung jumlahnya telah membawa kita semua umat manusia khususnya bangsa Indonesia kepada perubahan yang luar biasa dari zaman nenek moyang kita dahulu. Sebut saja telpon genggam atau biasa disebut hp. Zaman dahulu, orang harus barjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk bisa bertemu dengan sanak saudaranya dan tentunya memakan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Tapi sekarang teknologi menjawab semuanya. Dan tak bisa dipungkiri pula, kemajuan yang pesat itu semua memberikan dampak positif dan negatif kepada kita dan anak cucu kita. Salah satu dari dampak negatif yang ditimbulkannya adalah menjamurnya paham liberalisme dan sekulerisme di negeri kita ini. Penafsiran kultur barat tanpa meninjau kembali filosofinya, membuat masyarakat kita dewasa ini seakan sedang mencari jati dirinya. Paham kebebasan yang kebablasan atau paham yang selalu memisahkan urusan moral (akhlak) dengan hukum-hukum-Nya, seakan menjadi dewa yang tiada tandingannya.

Tidak bisa kita pungkiri, kita sebagai hamba Allah yang hidup di muka bumi ini tidak bisa lepas dari hukum-hukum-Nya yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an. Bukankah kita sebagai khalifah di bumi ini diciptakan hanya untuk beribadah kepadanya? Beribadah dalam konteks luas. Beribadah bukan hanya bersifat kegiatan ritual semata, tapi lebih dari itu segala perbuatan, pekerjaan dan perilaku kita diniatkan semata-mata untuk ibadah kepada-Nya.

Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi :

وما خلقتُ الجِن والإنس إلآ ليعبد ون

Artinya: Dan tidak Aku (ALLAH) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.

Paham-paham seperti diatas tadi seyogianya dikembalikan kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran Islam yang murni, bukan yang liberal, ekstrem atupun sekuler.

Harus Konsisten pada Komitmen.

Bagaimana cara membendung ‘virus-virus’ tersebut yang begitu kuat pada saat ini? Pihak yang paling berperan penting dalam mencegah virus-virus jahanam yang bisa merusak moral kita itu adalah orang tua. Bagaimana orang tua sebagai pendidik anaknya di luar sekolah memberikan pemahaman yang mendalam mengenai Islam. Bukan sekedar Islam KTP. Tapi orang tua dituntut agar lebih peka mengenai yang satu ini. Mengapa? Kalau pondasi agama anak-anak kita lemah maka ia akan menjadi generasi yang lemah, penakut dan tidak percaya diri. Buta akan hukum-hukum agama. Dan virus-virus sekulerisasi dsb akan sangat mudah masuk ke relung jiwanya. Jadi pemahaman akan Islam mutlak harus dimiliki oleh setiap orang tua ditengah era globalisasi saat ini.

Pihak kedua yang tidak kalah pentingnya adalah sekolah. Sekolah sebagai gudang ilmu, memberikan pengaruh yang sangat penting bagi perkembangan moral anak. Tidak bisa dipungkiri, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia telah memberikan kontribusi yang besar bagi pendidikan bangsa ini sekaligus sebagai benteng pertahanan yang kokoh dari serangan kaum liberal. Tidak hanya itu saja pondok-pondok pesantren yang ada di Indonesia juga berperan penting dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Orang tua harus jeli melihat sekolah mana yang akan dipilih untuk anaknya kelak. Apalagi jikalau si anak akan memasuki jenjang perguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi di negeri ini yang sudah terkontaminasi oleh virus sekulerisasi dan liberalisasi baik itu negeri maupun swasta. Penulis tidak akan memaparkan satu-persatu perguruan tingggi apa itu dan dimana tempatnya. Tapi perguruan-perguruan tinggi tersebut jelas-jelas telah membelokkan akidah mahasiswanya. Bahkan sempat tertulis di media cetak seorang mahasiswi yang sempat goyah akidahnya ketika ia kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Sampai pada akhirnya mahasiswi tersebut bertobat dan bersyahadat kembali seperti layaknya seorang muallaf yang baru memeluk Islam. Duh gusti, apakah sampai separah ini dunia pendidikan kita?

Tidak hanya peran fungsi orang tua dan sekolah saja yang harus kita perbaiki. Faktor lingkungan yang merupakan faktor ketiga dalam membendung arus sekulerisasi ini juga sangat mempengaruhi. Lingkungan yang pemahaman agama yang pas-pasan, akan sangat mudah dimasuki paham sekuler dan liberal. Kalaulah ketiga faktor ini saling sinkron dalam hubungannya untuk membendung pengaruh sekulerisasi dan liberalisasi di negeri ini, dan terus meningkatkan keilmuan di bidang keislaman ditambah dengan akidah yang tidak mau dibeli dengan sekardus mie instan, niscaya bangsa ini akan lebih maju sedikit demi sedikit, setapak demi setapak. Mari kita lihat negara tetangga kita Malaysia. Di era 60-an, Malaysia mengimpor guru dari Indonesia. Karena guru-guru kita dinilai memiliki kompetensi yang prima dalam mengajar. Bahkan para pelajar Malaysia berbondong-bondong untuk kuliah di Indonesia! Tapi sekarang, Malaysia dinilai telah berhasil keluar dari krisis ekonominya tanpa menjual harga dirinya kepada pihak asing dan tetap konsisten menjaga warisan kultur nenek moyangnya tanpa terpengaruh budaya barat yang sekuler dan liberal! Anda bisa bayangkan apa jadinya kalau sidang ataupun rapat anggota Dewan Perwakilan Rakyat kita menggunakan kostum daerah! Unik memang. Tapi itulah yang terjadi di negara tetangga kita Malaysia sampai detik ini. Satu hal lagi Malaysia tetap mempertahankan idenditas keislaman mereka! Mayoritas perempuan Malaysia menggunakan jilbab sebagai pakaian sehari-hari mereka. Walaupun beberapa waktu silam hubungan antara RI-Malaysia sempat memanas akibat sengketa pulau Sipadan dan Ligitan ditambah lagi klaim lagu Rasa Sayange sebagai lagu daerah mereka. Singapura yang kita kenal hari ini berbeda dengan Singapura di lima puluh tahun silam. Singapura yang kita kenal sekarang adalah macan asia yang dengan kelebihannya mampu menunjukkan eksistensinya di mata dunia.

Maka dari itu, sudah saatnya kita tidak lagi apatis dengan apa yang terjadi pada agama dan bangsa kita. Pemuda hari ini akan menjadi penentu esok hari. Jika pondasi-pondasi yang seharusnya telah kuat mengakar di sanubari itu lemah hari ini, bagaimana kelak mereka bisa menjadi penentu di masa yang akan datang? Mengapa harus malu mengakui kekurangan kita ? Untuk itu mari kita kembalikan negeri kita ini kepada jati dirinya semula. Tanpa pengaruh sekuler apalagi liberal yang berasal dari barat. Wallahu a’lam bisshowab.