30 Januari 2011

Filosofi Jodoh


Suatu ketika saya berjalan-jalan ke sebuah pasar dimana pusat segala macam sepatu dijual. Saya ingin mencari sepatu yang pas dan cantik untuk ukuran kaki saya. Saya berkeliling-keliling melihat di sekitar pasar. Sampai akhirnya saya berhenti pada sebuah toko yang didalamnya ada menjual kriteria sepatu yang saya inginkan. Saya memperhatikan kondisi sepatu yg saya inginkan tersebut dengan cermat hingga akhirnya saya memutuskan akan membelinya. Seketika itu juga teman saya berkata, "jangan terburu-buru dalam memutuskan sesuatu nanti kau akan mnyesal, mari kita keliling-keliling dulu melihat-lihat mungkin saja ada yg lebih baik dan bagus".

Nasihat teman saya tadi saya terima dan kami pun bergerak melintasi pusat keramaian tadi mencari-cari sepatu yg mungkin ada lebih baik. Di dalam hati saya mengkhawatirkan sepatu yang akan saya beli tadi telah dibeli orang. Padahal saya ingin sekali memiliki sepatu tadi. Ditengah jalan teman saya tadi pun berpesan lagi, "kalau nanti jodoh, sepatu itu pasti kan jadi milikmu kok". Ternyata benar, tak lama setelah kami berkeliling-keliling, saya menemukan sepatu yang lebih baik dan lebih bagus kualitasnya dengan harga yang pas di kantong tentunya dari sepatu yang sebelumnya saya lihat tadi. Lalu saya pun langsung menyambangi sang pemilik toko tersebut dan tawar-menawar pun terjadi. Setelah menyepakati harga, saya pun membayar sepatu tersebut. Alangkah senangnya hati ketika menemukan sesuatu yang pas di hati, gumamku.

Sebelum kami pulang, saya berkata pada teman saya tadi, "kita pulangnya lewat toko yang pertama tadi ya!"
Teman saya pun mengamini permintaan saya tadi. Ketika kami melewati toko pertama tadi, mata saya masih tertuju kepada sepatu yang pertama saya lihat. Subhanallah, ternyata sepatu itu masih ada di tempatnya dengan rapi. "Tuh kan kalo jodoh gak kemana!", sindir teman saya.

Jodoh memang tidak bisa di prediksi oleh akal-fikiran manusia. Bisa jadi yang dirasakannya sekarang adalah yang terbaik untuknya, padahal itu belum tentu yang terbaik di mata-Nya. Belum tentu juga yang sudah disenanginya sekarag ini adalah yang paling sesuai untuknya, padahal belum tentu itu yang sama dengan yang direncanakan-Nya. Kalau tidak karena saran dari teman saya tadi mungkin saya tidak bertemu dengan 'jodoh' saya ini, sepasang sepatu yang sangat saya cintai.

Oleh karena tidak ada manusia yang dapat mengetahui tentang rahasia jodoh, maka tidak sepatutnya lah kita terlalu mengumbar-umbar bahwa yang sekarang kita miliki, sukai, cintai adalah yang terbaik untuk kita. Mengingat segala sesuatunya telah tertuliskan di 'lauh mahfudz' sana. Allah itu Maha tahu yang terbaik bagi kita dan Dia tidak akan memberikan sesuatu yang kita tidak membutuhkannya. Keyakinan akan segala keindahan yang telah dijanjikan-Nya bagi orang-orang yang sabar inilah yang perlu ditanamkan pada generasi muda.
Wallahu 'alam bisshowab.

28 Januari 2011

Indonesia Ditengah Pusaran Sekulerisasi

Sekuler dalam kamus Bahasa Indonesia berarti bersifat duniawi, atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohaniaan). Sedangkan sekulerisasi adalah hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Penulis sengaja mengomentari sedikit tentang sekulerisasi di Indonesia karena arus globalisasi yang demikian kuat dewasa ini memaksa kita tanpa kita sadari telah membawa kita ke jurang sekulerisme. Mengapa sekulerisme berbahaya bagi kita? Karena ajaran sekuler memisahkan antara moralitas dan hukum agama, yang pada akhirnya akan berujung pada kesemrawutan akhlak manusia. Dan buta akan yang haq dan yang bathil.

Begitu kuatnya arus sekulerisasi di Indonesia hingga membuat kita masyarakat awam tidak menyadarinya. Sebagai contoh kecil saja, acara-acara yang beredar dilayar kaca kita misalnya, bukan rahasia umum lagi pakaian tank top dipakai ketika acara pertemuan-pertemuan formal atau gaun-gaun yang serba terbuka sehingga memudahkan bagi siapa saja yang melihatnya disengaja ataupun tidak. Ini tanpa disadari telah mempengaruhi pola fikir kita. Kalau kita berkaca pada sejarah bangsa ini yang sudah lebih dari enam dasawarsa merdeka, pastilah kita bersyukur akan betapa banyak nikmat- Nya yang tak terhitung jumlahnya yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita semua. Mengapa tidak? Orang tua kita dulu, tidak pernah mengajari anaknya akan hal-hal yang bersifat negatif. Apalagi mentransfer nilai-nilai dan budaya barat. Orang tua kita dulu masih memegang teguh nilai-nilai ketimuran dan norma-norma adat warisan nenek moyang kita. Tapi sekarang seiring kuatnya arus globalisasi yang megguncang Indonesia kita yang tercinta ini, teknologi semakin maju, pendidikan semakin tinggi, dan ilmu pengetahuan sudah tak terhitung jumlahnya telah membawa kita semua umat manusia khususnya bangsa Indonesia kepada perubahan yang luar biasa dari zaman nenek moyang kita dahulu. Sebut saja telpon genggam atau biasa disebut hp. Zaman dahulu, orang harus barjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk bisa bertemu dengan sanak saudaranya dan tentunya memakan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Tapi sekarang teknologi menjawab semuanya. Dan tak bisa dipungkiri pula, kemajuan yang pesat itu semua memberikan dampak positif dan negatif kepada kita dan anak cucu kita. Salah satu dari dampak negatif yang ditimbulkannya adalah menjamurnya paham liberalisme dan sekulerisme di negeri kita ini. Penafsiran kultur barat tanpa meninjau kembali filosofinya, membuat masyarakat kita dewasa ini seakan sedang mencari jati dirinya. Paham kebebasan yang kebablasan atau paham yang selalu memisahkan urusan moral (akhlak) dengan hukum-hukum-Nya, seakan menjadi dewa yang tiada tandingannya.

Tidak bisa kita pungkiri, kita sebagai hamba Allah yang hidup di muka bumi ini tidak bisa lepas dari hukum-hukum-Nya yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an. Bukankah kita sebagai khalifah di bumi ini diciptakan hanya untuk beribadah kepadanya? Beribadah dalam konteks luas. Beribadah bukan hanya bersifat kegiatan ritual semata, tapi lebih dari itu segala perbuatan, pekerjaan dan perilaku kita diniatkan semata-mata untuk ibadah kepada-Nya.

Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi :

وما خلقتُ الجِن والإنس إلآ ليعبد ون

Artinya: Dan tidak Aku (ALLAH) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.

Paham-paham seperti diatas tadi seyogianya dikembalikan kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran Islam yang murni, bukan yang liberal, ekstrem atupun sekuler.

Harus Konsisten pada Komitmen.

Bagaimana cara membendung ‘virus-virus’ tersebut yang begitu kuat pada saat ini? Pihak yang paling berperan penting dalam mencegah virus-virus jahanam yang bisa merusak moral kita itu adalah orang tua. Bagaimana orang tua sebagai pendidik anaknya di luar sekolah memberikan pemahaman yang mendalam mengenai Islam. Bukan sekedar Islam KTP. Tapi orang tua dituntut agar lebih peka mengenai yang satu ini. Mengapa? Kalau pondasi agama anak-anak kita lemah maka ia akan menjadi generasi yang lemah, penakut dan tidak percaya diri. Buta akan hukum-hukum agama. Dan virus-virus sekulerisasi dsb akan sangat mudah masuk ke relung jiwanya. Jadi pemahaman akan Islam mutlak harus dimiliki oleh setiap orang tua ditengah era globalisasi saat ini.

Pihak kedua yang tidak kalah pentingnya adalah sekolah. Sekolah sebagai gudang ilmu, memberikan pengaruh yang sangat penting bagi perkembangan moral anak. Tidak bisa dipungkiri, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia telah memberikan kontribusi yang besar bagi pendidikan bangsa ini sekaligus sebagai benteng pertahanan yang kokoh dari serangan kaum liberal. Tidak hanya itu saja pondok-pondok pesantren yang ada di Indonesia juga berperan penting dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Orang tua harus jeli melihat sekolah mana yang akan dipilih untuk anaknya kelak. Apalagi jikalau si anak akan memasuki jenjang perguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi di negeri ini yang sudah terkontaminasi oleh virus sekulerisasi dan liberalisasi baik itu negeri maupun swasta. Penulis tidak akan memaparkan satu-persatu perguruan tingggi apa itu dan dimana tempatnya. Tapi perguruan-perguruan tinggi tersebut jelas-jelas telah membelokkan akidah mahasiswanya. Bahkan sempat tertulis di media cetak seorang mahasiswi yang sempat goyah akidahnya ketika ia kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Sampai pada akhirnya mahasiswi tersebut bertobat dan bersyahadat kembali seperti layaknya seorang muallaf yang baru memeluk Islam. Duh gusti, apakah sampai separah ini dunia pendidikan kita?

Tidak hanya peran fungsi orang tua dan sekolah saja yang harus kita perbaiki. Faktor lingkungan yang merupakan faktor ketiga dalam membendung arus sekulerisasi ini juga sangat mempengaruhi. Lingkungan yang pemahaman agama yang pas-pasan, akan sangat mudah dimasuki paham sekuler dan liberal. Kalaulah ketiga faktor ini saling sinkron dalam hubungannya untuk membendung pengaruh sekulerisasi dan liberalisasi di negeri ini, dan terus meningkatkan keilmuan di bidang keislaman ditambah dengan akidah yang tidak mau dibeli dengan sekardus mie instan, niscaya bangsa ini akan lebih maju sedikit demi sedikit, setapak demi setapak. Mari kita lihat negara tetangga kita Malaysia. Di era 60-an, Malaysia mengimpor guru dari Indonesia. Karena guru-guru kita dinilai memiliki kompetensi yang prima dalam mengajar. Bahkan para pelajar Malaysia berbondong-bondong untuk kuliah di Indonesia! Tapi sekarang, Malaysia dinilai telah berhasil keluar dari krisis ekonominya tanpa menjual harga dirinya kepada pihak asing dan tetap konsisten menjaga warisan kultur nenek moyangnya tanpa terpengaruh budaya barat yang sekuler dan liberal! Anda bisa bayangkan apa jadinya kalau sidang ataupun rapat anggota Dewan Perwakilan Rakyat kita menggunakan kostum daerah! Unik memang. Tapi itulah yang terjadi di negara tetangga kita Malaysia sampai detik ini. Satu hal lagi Malaysia tetap mempertahankan idenditas keislaman mereka! Mayoritas perempuan Malaysia menggunakan jilbab sebagai pakaian sehari-hari mereka. Walaupun beberapa waktu silam hubungan antara RI-Malaysia sempat memanas akibat sengketa pulau Sipadan dan Ligitan ditambah lagi klaim lagu Rasa Sayange sebagai lagu daerah mereka. Singapura yang kita kenal hari ini berbeda dengan Singapura di lima puluh tahun silam. Singapura yang kita kenal sekarang adalah macan asia yang dengan kelebihannya mampu menunjukkan eksistensinya di mata dunia.

Maka dari itu, sudah saatnya kita tidak lagi apatis dengan apa yang terjadi pada agama dan bangsa kita. Pemuda hari ini akan menjadi penentu esok hari. Jika pondasi-pondasi yang seharusnya telah kuat mengakar di sanubari itu lemah hari ini, bagaimana kelak mereka bisa menjadi penentu di masa yang akan datang? Mengapa harus malu mengakui kekurangan kita ? Untuk itu mari kita kembalikan negeri kita ini kepada jati dirinya semula. Tanpa pengaruh sekuler apalagi liberal yang berasal dari barat. Wallahu a’lam bisshowab.