24 Januari 2013

Manifestasi Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in



Sebagai umat Islam kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk menyembahnya sehari semalam. Hal itu termaktub dalam kitab-Nya yakni wa aqiimu-sholata lidzikri. Dalam tenggang waktu itu pula kita menyembah-Nya dalam bentuk shalat lima waktu. Bila di jumlahkan, total rakaat sholat yang kita tunaikan dalam shalat adalah tujuh belas rakaat. Dan di dalam setiap rakaat itu pula kita membaca surat Al-Fatihah. Mengapa Allah mewajibkan kita membaca Fatihah dalam rakaat shalat? Dalam kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’n mengandung makna kira-kira sebagai berikut; hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan. Mengapa Allah meminta kita selalu mengulangi hal tersebut dalam rakaat shalat kita? Apakah Dia belum percaya bahwa hanya kepada-Nya lah kita menyembah dan meminta pertolongan?

Dalam struktur tata Bahasa Arab yang biasa dikenal dengan istilah ilmu nahwu, kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in merupakan struktur yang tidak lazim ditemukan dalam aturan tata bahasa. Sebab dalam kaidah bahasa, umumnya kita menggunakan struktur SPOK (subjek, predikat, objek dan keterangan). Maka jika mengikuti kaidah tata bahasa, seharusnya kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in diubah menjadi na’budu iyyaka wa nasta’inu iyyaka sehingga ia sesuai dengan struktur SPOK. Merupakan hal yang sangat jarang ditemukan bila kita berbahasa mengedepankan objek terlebih dahulu lalu kemudian subjek dan predikat. Inilah salah satu ciri yang menunjukkan keotentikan Al-Qur’an. Bahwa ia (Qur’an) adalah kalamullah dan bukan buatan tangan manusia, ia adalah firman Tuhan dan bukan perkataan manusia. Akan tetapi Allah SWT berkata lain dengan struktur bahasa manusia pada umumnya. Dia mengedepankan objek  (iyyaka) sebagai awal kalimat dan menomorduakan subjek dan predikat (na’budu dan nasta’in). 

Apa yang Allah sampaikan dalam kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah sesungguhnya menggambarkan sifat dasar manusia sebagai hamba. Yaitu bahwa manusia sangat suka menghambakan dirinya. Manusia akan menghambakan dirinya kepada sesuatu yang menurutnya dapat menjadi sumber baginya. Apapun itu dan siapapun itu. Padahal Allah SWT sangat memuliakan manusia dari sesuatu benda dan makhluk lainnya. Akan tetapi justru manusia itulah yang menghambakan dirinya kepada selain Allah SWT. Tidak jarang kita jumpai orang yang percaya pada batu cincin yang dapat membawa keberuntungan atau pohon dan benda peninggalan yang dikeramatkan dan dipercaya dapat membawa berkah serta keberuntungan dikemudian hari. Itulah sebabnya, Allah SWT meminta kita menegaskan kembali entitas keimanan kita pada kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Sebab tidak boleh ada perantara antara Allah SWT dan hamba-Nya (manusia) dalam rangka menyembah-Nya. Dialah (Allah) Tuhan yang Esa, Tuhan semesta alam yang mengatur segalanya.

Inkonsistensi Keimanan Kita
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita menemukan fenomena-fenomena yang menggerus akidah mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar. Begitu mudahnya kita menyaksikan cara-cara segelintir orang yang menggadaikan Tuhannya hanya karena sekotak mie instan, kekuasaan atau bahkan atas nama cinta. Semua begitu mudah kita temukan di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Apa yang kita baca ketika shalat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in berbanding terbalik dengan kenyataan setelah kita shalat. Apa yang kita minta hanya kepada-Nya kita ingkari dengan meminta kepada batu giok, pohon, dukun, sesepuh atau bahkan binatang. Padahal Dia (Allah) telah berfirman dalam kitab-Nya yang berbunyi ud’unii astajib lakum yang artinya mintalah kepadaku dan Aku (Allah) akan mengabulkan permintaan (doa) kalian. Inilah sesungguhnya fenomena inkonsistensi keimanan kita dalam menghambakan diri kepada-Nya.

Bumi yang diciptakan Allah SWT ini telah miliaran abad umurnya. Dan manusia yang hidup didalamnya pun telah tak terhitung jumlahnya. Maka merupakan sebuah kemustahilan jika kita ingin menguasainya. Kita (manusia) yang baru lahir kedunia ini tidak akan pernah merasa cukup puas untuk menguasainya. Sebab ia (dunia) telah berumur jauh lebih tua dari apa yang ingin kita kuasai dan miliki. Itulah sebabnya orang yang menghambakan dirinya sepenuhnya kepada Allah SWT adalah orang yang paling berbahagia. Mereka tidak meminta pertolongan kepada selain Allah SWT. Mereka tidak meminta pertolongan kepada atasan atau bos mereka, mereka tidak menghambakan diri kepada penguasa dan mereka tidak menjual iman mereka kepada selain Dia, mereka takut jika mereka mengingkari janji mereka yang berbunyi iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Itulah ciri-ciri dari hamba Allah yang paling berbahagia.

Keimanan kita sebagai manusia yang tak pernah luput dari salah dan lupa pasti akan selalu diuji oleh Allah SWT. Mustahil kita mengaku beriman jika kita belum lulus tahap ujian dari-Nya. Mustahil kita mengaku sebagai warga negara yang baik jika kita belum membayar pajak dan mematuhi segala aturan yang berlaku di dalam negara kita. Kita disebut beriman jika keimanan kita telah teruji dan tahan banting dari segala cobaan yang datang menawarkan pertolongan kepada selain Allah SWT. Begitu banyak yang menawarkan pertolongan kepada selain Dia (Allah) di luar sana, betapa banyak yang menawarkan kekayaan, kekuasaan dan keindahan dunia di luar sana dengan menggadaikan keimanan kita. Sudah siapkah kita membela mati-matian keimanan kita hanya kepada-Nya?

             Manifestasi iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in merupakan harga mati yang harus menjadi prinsip hidup dalam menjalani kehidupan ini. Bukankah dunia ini hanyalah tempat mencari bekal untuk kehidupan yang kekal kelak di akhirat sana? Sudahkah kita mampu mengejawantahkan manifestasi iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in dalam diri kita pribadi? Wallahu’alam bisshowab.

22 Januari 2013

Namaku Gudel #3



Ya aku Gudel
Sarjana alam semesta. . .
Sekolahanku, trotoar, terminal, pasar dan manusia. . .
Sekolah bagiku tak lebih dari penjara,
dimana ilmu pengetahuan terkurung di dalam buku-buku pelajaran yang telah dirancang dan ditetapkan untuk mencari keuntungan…

Alangkah menjemukan tahun-tahun menunggu gelar kesarjanaan...
Akhirnya toh tetap juga menjadi pengangguran. . .
Jangan andalkan sekolahan membentuk moral anakmu!
Sekolahan hanya tak lebih dari lapangan penghidupan,
tempat para guru menandatangani absensi untuk menerima gaji. . .
Urusan moral, bukan urusanku…
baik dan buruk, bukan wewenangku. . .
Tugas telah aku penuhi, gaji telah aku kantongi…
Ya akulah Gudel, guru abad ini yang mengerti dan paham kondisi. . .
Dimana tempat menguntungkan, disitulah, aku bersemayam. . .

(dibacakan pada teatrikalisasi puisi, Banyuwangi 2007)

Namaku Gudel #2



Ya, aku Gudel…
Semak belukar ilalang dan rerumputan liar
Penjara adalah rumah dan sekolahanku…
dimana aku belajar dan berkembang
Tempat di mana aku memperbaiki segala kesalahan
menyempurnakan setiap rencana dan tindakan
tempat dimana aku mempelajari satu demi satu keterampilan
memahami tabiat manusia dan mengerti cara menaklukkan
Untuk bisa kaya kamu harus berani mengambil…
untuk bisa berkuasa kamu harus belajar untuk tega…
ya kamu harus belajar untuk tega…
Setiap kali aku keluar dari penjara,
 aku merasa jadi sarjana, semakin pintar dan menakutkan… 

(dibacakan pada teatrikalisasi puisi, Banyuwangi 2007)

Namaku Gudel #1



Namaku Gudel,
Hari tanggal dan tahun lahirku emak tidak ingat
Yang jelas aku lahir saat bapak kalah judi
Terusir… tanpa rumah dan tanpa pendidikan
Yang emak lakukan hanya menangis dan mencakar
Yang bapak lakukan hanya mabuk dan menggampar
Sedangkan aku…
yang aku lakukan hanya mencatat dan merekam
Betapa banyak orang tua yang tak bisa bersikap dewasa
Entah kenapa namaku gudel…
Bapak bilang biar kuat, tidak mudah sakit dan bisa diberi makan apa saja
terutama biar tidak menghabisakan banyak biaya
Anak seusiaku masanya bermain, belajar, berkembang dan bermimpi menjadi presiden
Sedangkan aku masih saja mengadah di trotoar,  
di jalan-jalan, di stasiun dan pasar-pasar
Itulah taman kanak-kanak bagiku di mana aku memaknai kehidupan
Belajar mengerti betapa sulitnya memberi dan betapa mudahnya mencuri
Jika boleh aku memilih orang tua, tentu aku tidak memilih orang tua yang membiarkan anaknya berkembang menjadi binatang,
orang tua yang hanya mengisi materi dan melupakan nilai,
orang tua yang membangun kerakusan akan dunia dan melupakan mengisi hati yang kosong dan hampa,
 yang hanya mengisi kepala dan lupa mengisi jiwa
Jika di izinkan aku memilih untuk tidak di lahirkan. . .

(dibacakan pada teatrikalisasi puisi, Banyuwangi 2007)