19 November 2011

KH. Imam Zarkasyi, Pembaharu Pendidikan Pesantren Modern di Indonesia

Sekilas tak banyak yang tahu tentang tokoh yang satu ini. Sepak terjangnya di dunia pendidikan sudah tidak diragukan lagi dikalangan para santri dan alumni Gontor. Sosoknya yang sederhana dan bersahaja mampu menjadi inspirasi bagi siapapun yang pernah mengenyam pendidikan bersamanya dan menikmati tulisan-tulisannya. Dialah KH. Imam Zarkasyi salah satu dari tiga pendiri Pondok Modern Gontor Ponorogo yang hingga kini terus menelurkan pejuang-pejuang yang selalu berkontribusi untuk negeri.

Pak Zar, begitu beliau dahulu disapa oleh santri-santrinya, memang sosok yang berkharisma tinggi. Kesabarannya dalam mendidik, kesederhanaannya dalam pola hidup serta ketulusannya dalam mentransfer ilmu kepada santrinya merupakan salah satu pemikat mengapa Pak Zar selalu hidup dihati santri-santrinya. Pak Zar memang telah tiada, akan tetapi ajaran-ajarannya tentang nilai-nilai kehidupan-kebangsaan akan tetap hidup dihati para santri dan alumni yang mencintainya.

Lahir di desa Gontor pada 21 Maret 1910 silam, Zarkasyi kecil mulai menapaki jenjang pendidikannya di Sekolah Dasar Ongko Loro, Jetis, Ponorogo. Tak hanya itu, sosok yang cinta ilmu ini juga mengenyam pendidikan di tiga tempat yang berbeda yaitu Pondok Pesantren Josari Jetis, Ponorogo, Pondok Joresan Ponorogo, Sekolah Mamba’ul Ulum dan masih di kota yang sama pula meneruskan ke sekolah Arabiyah Adabiyah pimpinan Ustadz M.O. Hasyimi sampai tahun 1930. Selama belajar di sekolah-sekolah tersebut (khususnya sekolah Arabiyah Adabiyah) beliau mendalami bahasa Arab. Diantara guru yang mendidik, membimbing dan mendorong beliau selama belajar di Solo adalah Ustadz Hasyimi, bekas pejuang di Tunisia. Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, beliau meneruskan ke Kweekschool di Padang Panjang sampai tahun 1935 (Biografi Trimurti: 2007:13).

Proses perjalanan pendidikan Pak Zar memang panjang. Demi ilmu, beliau rela menapaki kaki hingga ke tanah Sumatera, tepatnya di Padang Panjang yang kala itu memang menjadi central of excellence pendidikan nusantara. Disana beliau bertemu dan berguru dengan alim ulama terkenal seperti KH. Mahmud Yunus. Setelah tamat belajar di Kweekschool, beliau diminta menjadi direktur Perguruan tersebut oleh gurunya, KH. Mahmud Yunus. Tetapi Pak Zar hanya dapat memenuhi permintaan dan kepercayaan tersebut selama satu tahun (tahun 1936), dengan pertimbangan meskipun jabatan itu cukup tinggi, tetapi ia merasa bahwa jabatan tersebut bukanlah tujuan utamanya setelah menuntut ilmu di tempat itu. Imam Zarkasyi dinilai oleh Mahmud Yunus memiliki bakat yang menonjol dalam bidang pendidikan, namun ia melihat bahwa Gontor lebih memerlukan kehadirannya.

Sepulang merantau dari Padang Panjang dan menyerahkan jabatannya sebagai direktur Pendidikan Kweekschool kepada KH. Mahmud Yunus, Pak Zar kembali ke Gontor. Pada tahun 1936 itu juga, genap sepuluh tahun setelah dinyatakannya Gontor sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, Pak Zar segera memperkenalkan program pendidikan baru yang diberi nama Kulliyatu-l Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya. Inilah cikal bakal Gontor baru dengan sistem modern yang telah dirancang oleh Pak Zar.

Perjalanan sejarah Pondok Modern Gontor sekalipun mengalami pasang surut. Lembaga Pendidikan yang berdiri tahun 1926 dan telah diwakafkan untuk umat Islam pada tahun 1958 ini kaya akan hitam-putihnya pengalaman dalam mendidik santri-santrinya. Sejak berdirinya 85 tahun yang lalu, Gontor telah banyak menyumbangkan pahlawan pendidikan, budayawan, intelektual dan negarawan untuk bangsa ini. Sebut saja Almarhum KH. Idham Chalid yang baru-baru ini diresmikan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pahlawan nasional, intelektual Almarhum Nurcholis Madjid yang biasa disapa Cak Nun, budayawan Emha Ainun Nadjib hingga negarawan Hidayat Nur Wahid merupakan hasil gemblengan Pak Zar di Gontor.

Dalam mendidik santrinya, Pak Zar menanamkan lima spirit yang harus dimiliki seorang santri yaitu keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah islamiyah dan kebebasan dalam jiwa santri-santrinya yang biasa juga disebut Panca Jiwa Pondok Modern Gontor. Spirit inilah yang menjiwai diri santri sehingga segala sesuatu dari apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang dirasakan adalah pendidikan.

Perjalanan karier Pak Zar tidak diragukan lagi. Beliau telah banyak menjabat dan mengantongi penghargaan baik nasional maupun internasional. Pak Zar pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar Kementerian Agama (1951-1953), Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953), Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama, Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan (1957). Selain itu pada tahun 1959, Pak Zar diangkat menjadi Anggota Dewan Perancang Nasional oleh Presiden Soekarno. Dalam percaturan internasional, Pak Zar pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Soviet, pada tahun 1962. Sepuluh tahun kemudian, ia juga mewakili Indonesia dalam Mu’tamar Majma’ Al-Bunuth Al-Islamiyah (Muktamar Akademisi Islam se-Dunia), ke-7 yang berlangsung di Kairo. Di samping itu, beliau juga menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat.

Gagasan dan Cita-cita Pembaharuan KH. Imam Zarkasyi

Sebelum mendirikan lembaga pendidikan pesantren dengan corak yang modern, Pak Zar bersama pendiri Pondok Modern Gontor lainnya telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Ada empat lembaga pendidikan yang mereka kaji dalam rangka studi banding yang kemudian dikenal sebagai “Sintesa Pondok Modern”.

Pertama, Universitas Al-Azhar di Mesir, merupakan sebuah lembaga pendidikan swasta, dengan kekayaan wakafnya yang luar biasa, mampu bertahan bahkan berperan dalam apapun dalam perubahan waktu dan masa. Al-Azhar ini bermula dari sebuah masjid sederhana namun kemudian dapat hidup ratusan tahun dan telah memiliki tanah wakaf yang mampu memberi beasiswa untuk mahasiswa seluruh dunia. Kedua, Pondok Syanggit di Afrika Utara, dekat Libya. Lembaga ini dikenal karena kedermawanan dam keikhlasan pengasuhnya. Pondok ini dikelola dengan jiwa ikhlas dari pengasuhnya di samping mendidik murid-muridnya juga menanggung kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Ketiga, Universitas Muslim Aligarh yang membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan menjadi pelopor kebangkitan Islam di India. Universitas ini dikenal sebagai pelopor pendidikan modern dan revival of Islam. Keempat, masih juga di India yaitu Perguruan Santiniketan yang didirikan oleh seorang filosof Hindu, Rabendranath Tagore. Perguruan ini terkenal karena kedamaiannya meskipun terletak jauh dari keramaian tetapi dapat melaksanakan pendidikan dengan baik dan bahkan dapat mempengaruhi dunia. Kedamaian di perguruan tersebut mengilhami Darussalam (kampung damai) untuk Pondok Pesantren Darussalam Gontor.

Apa yang telah dirumuskan Pak Zar bersama beberapa pimpinan Pondok Pesantren Gontor hampir dari satu abad silam merupakan aset yang tidak ternilai harganya untuk Indonesia sekarang. Gontor dengan konsep pendidikannya yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan telah membawa angin segar ditengah hiruk pikuk mencari konsep pendidikan karakter negeri ini. Kita sadari bersama bahwa pendidikan kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Akan tetapi ini bukanlah alasan bahwa kita tidak mempunyai jati diri pendidikan di negeri ini. Bangsa ini memiliki sistem pendidikan yang asli Indonesia yang sejak dahulu kala telah ada di bumi ibu pertiwi ini, itulah pendidikan pondok pesantren. Seiring dengan perkembangan zaman, pondok-pondok pesantren yang tersebar di seluruh pelosok negeri tersebut masih terus menyumbangkan kader-kader pemimpin untuk negeri ini dikemudian hari. Saya yakin, masih ada Pak Zar lainnya di seluruh pelosok negeri ini yang terus berjuang untuk kemajuan negeri tercinta Indonesia. Wallahu a’lam bisshowab.