07 Agustus 2012

Ramadhan nan Damai di Kampung Damai

Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata arti kesederhanaan, keikhlasan, berdikari, ukhuwah islamiyah dan kebebebasan yang terpancar dari bumi kampung damai ini, Darussalam. Menjelang usianya ke 80 tahun, aku pun berada pada kelas senior satu tingakat di bawah senior tertinggi. Ya, kelas lima KMI memang diberikan amanah sebagai pengurus adik-adik juniornya di asrama, klub-klub olahraga, bahasa dsb. Tapi ada yang menarik bagiku pada tahun ini, tahun ketigaku di kampung ini. Tahun dimana aku akan merayakan Ramadhan dan Idul Fitri di kampung ini, tidak di kampung halaman bersama handai taulan.

Liburan pun dimulai, lonceng panjang tepat pukul 24.00 malam dibunyikan dengan lantangnya oleh kakak senior bagian keamanan. Pertanda bahwa segala disiplin sudah tidak berlaku lagi bagi mereka dari kelas satu sampai kelas empat KMI. Tapi bagi mereka kakak-kakak kelas lima dan enam, tunggu dulu, disiplin pondok tetap berlaku bagi mereka sebagaimana layaknya pada hari-hari biasa. Aku berkumpul bersama teman-teman seperjuangan dikamar yang sekaligus juga 'diwan' kami sebagai penggerak kursus-kursus bahasa seantero pondok. Kami habiskan malam dengan berkumpul bersama dengan kakak-kakak kelas enam yang sedang berkemas-kemas menyiapkan segala sesuatunya untuk keprluan study tour kelas akhir.

Waktu berlalu, hari berganti, pertanda bahwa sebentar lagi kami akan memasuki awal ramadhan di tahun ini. Dalam hati aku berjanji, ini adalah ramadhan pertama dan terakhirku di tempat ini. Aku tidak mau ramadhan lagi disini, tidak mau dan tidak akan, gumamku. Ada kebiasaan unik di pondok modern, bahwa ketika menjelang berbuka puasa, para santri senior yang bermukim di pondok, menunggu kurma cuma-cuma yang akan dibagikan oleh bagian ta'mir masjid setengah jam menjelang berbuka puasa. Uniknya, hampir semua santri ngantri berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan satu bungkus kurma plus satu gelas aqua plastik minuman dingin khas buatan 'ta'mir'.

to be continued

Sudah Seriuskah Kita Beragama?



            Momentum puasa identik dikatikan dengan dalil dari Surat Al-Baqarah 183-187. Namun demikian bila kita perhatikan, tidak keseluruhan ayat tersebut mengulas tentang puasa. Pada ayat 184; syahru-romadhoona alladzi unzila fiihi-l-qur’ana hudan linnaasi wa bayyinaatin mina-l-hudaa wal furqaan. Ayat ini mengulas tentang kitab suci kita Al-Qur’an. Oleh karena itu, secara garis besar, surat Al-Baqarah 183-187 tersebut tidak hanya berbicara tentang puasa akan tetapi lebih dari itu tentang kitab suci Al-Qur’an dan ketuhanan.
            Bila kita telisik, ada kata-kata hudan dan wa bayyinaatin mina-l-huda wal furqaan pada frasa ayat 184 tersebut. Artinya Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Karena Allah tidak main-main dalam menciptakan manusia dan seisi jagad raya. Karena tidak ada ciptaan-Nya didunia ini yang sederhana. Alam semesta ini merupakan maha karya sang pencipta yang tidak sederhana.  Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia (linnas), bukan untuk umat Islam saja, akan tetapi umat manusia secara keseluruhan (general). Akan tetapi mirisnya kita umat Islam di Indonesia yang beragama Islam ini adalah tidak adanya keseriusan beragama.
            Keseriusan beragama yang saya sebut disini adalah ditengah-tengah padatnya populasi umat Islam di Indonesia sebagai kaum mayoritas di negeri ini, hanya berapa persenkah yang mengerti dan paham terjemahan dan tafsir Al-Qur’an secara komprehensif? Sudah berapa persenkah kita umat Islam di Indonesia ini yang mengamalkan dari uraian tafsir tersebut? Mirisnya lagi, sedari kecil kita terlalu sering dicekoki dengan  iming-iming nominal pahala dalam membaca Al-Qur’an. Sehingga kita terjebak dalam paradigma angka yang selalu mengkalkulasikan nominal pahala membaca Al-Qur’an dan tujuan akhirnya adalah masuk surga. Bagaimana kita akan masuk surga bila kita tidak dapat memahami dan mengamalkan isi dan kandungan Al-Qur’an? Bagaimana kita akan masuk surga sementara kita tidak mengerti dan paham akan apa yang kita baca? Inilah yang saya sebut ketidakseriusan kita beragama di Indonesia khususnya.
            Hal ini diperparah lagi dengan kondisi ulama kita dewasa ini. Lihatlah layar kaca kita pada setiap bulan Ramadhan yang selalu diisi dengan ceramah-ceramah yang penuh guyon dan tidak serius? Agama adalah titah Tuhan dengan keseriusan! Bukan sebagai bahan guyonan dan lelucon semata meskipun terkadang itu salah satu wasilah dalam menyampaikan ayat-ayat-Nya. Dewasa ini, ulama yang diterima ditengah-tengah masyarakat adalah dia yang pandai membuat lelucon ditengah-tengah ceramahnya, dia yang pandai mengombinasikan fenomena disekelilingnya menjadi bahan lelucon dalam ceramahnya. Sungguh sebuah fenomena yang tidak ada keseriusan didalamnya! Padahal Allah SWT menurunkan Al-Qur’an tidak dengan lelucon sedikitpun.
            Menurut hemat saya, ini merupakan masalah serius bangsa ini yang merupakan penganut Islam terbesar di dunia. Kita hanyut dalam animo masyarakat yang lebih menyukai lelucon dan guyonan, kita hanyut dalam keterbuaian sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar. Kita hanyut dengan semua itu yang membuat arah dan tujuan dakwah pun semakin buram. Umat semakin sulit membedakan yang hitam dan putih, semuanya serba abu-abu karena keterbuaian kita dan ketidakseriusan ulama dalam mengejawantahkan ayat-ayat-Nya. Pada akhirnya, dalam sebuah pengambilan keputusan dalam lingkup yang lebih besar, umat hanya bisa mengatakan ‘kami ikut ustadz si Fulan’ karena kebutaan umat akan semua ajaran-ajaran Islam yang tersurat dalam Al-Qur’an.
            Apa yang ingin saya tegaskan adalah bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, bukan hanya sekedar dibaca teks Arabnya akan tetapi lebih dari itu mengkaji terjemahan dan tafsirnya juga merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam. Apa yang dilakukan oleh orang-orang di Benua Eropa saat ini adalah mereka membaca Al-Qur’an akan tetapi bukan teks Arabnya melainkan terjemahannya dalam bahasa mereka. Sehingga setelah membaca terjemahan Al-Qur’an tersebut, lahirlah muallaf-muallaf baru yang tanpa paksaan masuk kedalam Islam. Allahu Akbar! Semoga kita termasuk kedalam umat yang tidak hanya pembaca Al-Qur’an tetapi juga memahami dan mengamalkan isi dan kandungan dari Al-Qur’an itu sendiri sehingga jelaslah perbedaan antara umat Islam yang mengamalkan isi dan kandungan Al-Qur’an dan yang tidak. Inilah yang dimaksud dalam akhir ayat 184 tersebut; wa bayyinaatin mina-l-hudaa wal furqaan.