07 Agustus 2012
Momentum puasa identik dikatikan dengan
dalil dari Surat Al-Baqarah 183-187. Namun demikian bila kita perhatikan, tidak
keseluruhan ayat tersebut mengulas tentang puasa. Pada ayat 184; syahru-romadhoona alladzi unzila fiihi-l-qur’ana
hudan linnaasi wa bayyinaatin mina-l-hudaa wal furqaan. Ayat ini mengulas
tentang kitab suci kita Al-Qur’an. Oleh karena itu, secara garis besar, surat
Al-Baqarah 183-187 tersebut tidak hanya berbicara tentang puasa akan tetapi
lebih dari itu tentang kitab suci Al-Qur’an dan ketuhanan.
Bila
kita telisik, ada kata-kata hudan dan
wa bayyinaatin mina-l-huda wal furqaan pada
frasa ayat 184 tersebut. Artinya Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi manusia. Karena Allah tidak main-main dalam menciptakan manusia dan seisi
jagad raya. Karena tidak ada ciptaan-Nya didunia ini yang sederhana. Alam
semesta ini merupakan maha karya sang pencipta yang tidak sederhana. Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi umat manusia (linnas), bukan
untuk umat Islam saja, akan tetapi umat manusia secara keseluruhan (general). Akan tetapi mirisnya kita umat
Islam di Indonesia yang beragama Islam ini adalah tidak adanya keseriusan
beragama.
Keseriusan
beragama yang saya sebut disini adalah ditengah-tengah padatnya populasi umat
Islam di Indonesia sebagai kaum mayoritas di negeri ini, hanya berapa persenkah
yang mengerti dan paham terjemahan dan tafsir Al-Qur’an secara komprehensif?
Sudah berapa persenkah kita umat Islam di Indonesia ini yang mengamalkan dari
uraian tafsir tersebut? Mirisnya lagi, sedari kecil kita terlalu sering dicekoki dengan iming-iming nominal pahala dalam membaca
Al-Qur’an. Sehingga kita terjebak dalam paradigma angka yang selalu
mengkalkulasikan nominal pahala membaca Al-Qur’an dan tujuan akhirnya adalah
masuk surga. Bagaimana kita akan masuk surga bila kita tidak dapat memahami dan
mengamalkan isi dan kandungan Al-Qur’an? Bagaimana kita akan masuk surga sementara
kita tidak mengerti dan paham akan apa yang kita baca? Inilah yang saya sebut
ketidakseriusan kita beragama di Indonesia khususnya.
Hal
ini diperparah lagi dengan kondisi ulama kita dewasa ini. Lihatlah layar kaca
kita pada setiap bulan Ramadhan yang selalu diisi dengan ceramah-ceramah yang
penuh guyon dan tidak serius? Agama adalah titah Tuhan dengan keseriusan! Bukan
sebagai bahan guyonan dan lelucon semata meskipun terkadang itu salah satu
wasilah dalam menyampaikan ayat-ayat-Nya. Dewasa ini, ulama yang diterima
ditengah-tengah masyarakat adalah dia yang pandai membuat lelucon
ditengah-tengah ceramahnya, dia yang pandai mengombinasikan fenomena
disekelilingnya menjadi bahan lelucon dalam ceramahnya. Sungguh sebuah fenomena
yang tidak ada keseriusan didalamnya! Padahal Allah SWT menurunkan Al-Qur’an
tidak dengan lelucon sedikitpun.
Menurut
hemat saya, ini merupakan masalah serius bangsa ini yang merupakan penganut
Islam terbesar di dunia. Kita hanyut dalam animo masyarakat yang lebih menyukai
lelucon dan guyonan, kita hanyut dalam keterbuaian sebagai negara dengan
penduduk Islam terbesar. Kita hanyut dengan semua itu yang membuat arah dan
tujuan dakwah pun semakin buram. Umat semakin sulit membedakan yang hitam dan
putih, semuanya serba abu-abu karena keterbuaian kita dan ketidakseriusan ulama
dalam mengejawantahkan ayat-ayat-Nya. Pada akhirnya, dalam sebuah pengambilan
keputusan dalam lingkup yang lebih besar, umat hanya bisa mengatakan ‘kami ikut ustadz si Fulan’ karena
kebutaan umat akan semua ajaran-ajaran Islam yang tersurat dalam Al-Qur’an.
Apa
yang ingin saya tegaskan adalah bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam,
bukan hanya sekedar dibaca teks Arabnya akan tetapi lebih dari itu mengkaji
terjemahan dan tafsirnya juga merupakan hal yang wajib dilakukan oleh setiap
umat Islam. Apa yang dilakukan oleh orang-orang di Benua Eropa saat ini adalah
mereka membaca Al-Qur’an akan tetapi bukan teks Arabnya melainkan terjemahannya
dalam bahasa mereka. Sehingga setelah membaca terjemahan Al-Qur’an tersebut, lahirlah
muallaf-muallaf baru yang tanpa paksaan masuk kedalam Islam. Allahu Akbar! Semoga
kita termasuk kedalam umat yang tidak hanya pembaca Al-Qur’an tetapi juga
memahami dan mengamalkan isi dan kandungan dari Al-Qur’an itu sendiri sehingga
jelaslah perbedaan antara umat Islam yang mengamalkan isi dan kandungan Al-Qur’an
dan yang tidak. Inilah yang dimaksud dalam akhir ayat 184 tersebut; wa bayyinaatin mina-l-hudaa wal furqaan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar