02 Januari 2013
Tujuan dari tulisan ini adalah sederhana, saya ingin
menelisik apa peradaban yang ada di lingkungan kita yang paling kecil saat ini.
Karena sebuah peradaban mampu melahirkan sebuah kekuatan bagi sebuah negara.
Peradaban juga menggambarkan bagaimana manusia suatu negara dibentuk.
Lahirnya sebuah peradaban berawal dari sebuah kegiatan
yang unik dan terus menerus (berkesinambungan). Paham sosialis bermula dari
pembicaraan-pembicaraan kecil di warung-warung yang terus menerus menjadi
perbincangan hangat dan menjadi sebuah pemahaman dan mampu menjadi sebuah
kekuatan yang hingga saat ini masih terasa gaungnya di telinga kita. Paham itu
pun berkembang menjadi sebuah negara adidaya yang pernah kita kenal sebagai Uni
Sovyet.
Pada
tahun 1500-an di Jerman terdapat sebuah gereja kecil yang mampu melahirkan
tokoh-tokoh hebat. Gereja ini mendidik para murid-murid yang belajar didalamnya
dengan penuh disiplin dan peraturan yang ketat. Hasilnya luar biasa, gereja ini
melahirkan tokoh-tokoh yang cukup disegani pada saat itu. Tapi kesalahannya
adalah gereja tersebut juga melahirkan tentara-tentara yang siap untuk
berperang. Melihat hal tersebut, sebuah kerajaan di Jerman pada saat itu
membumihanguskan gereja tersebut karena dikhwatirkan mengancam stabilitas dan
keamanan negara.
Perkembangan
pendidikan pada zaman kolonial juga tak luput dari peradaban. Pada zaman
kolonial, kita sama-sama mengetahui betapa kejamnya penjajahan yang digencarkan
kepada bangsa kita sehingga membuat trauma yang mendalam di benak anak cucu
bangsa ini. Sekolah seakan menjadi barang mewah yang hanya boleh dikecap oleh
golongan berada saja. Meskipun demikian sekolah-sekolah bentukan Belanda pada
zaman itupun sudah mampu melahirkan tokoh-tokoh luar biasa pada zamannya. Sebut
saja Dr. H.O.S. Cokroaminoto yang pernah sekolah di STOVIA pada saat itu.
Peradaban dari bentukan sekolah-sekolah Belanda pada saat itu telah mampu
membentuk intelektual-intelektual muda yang mumpuni.
Disisi
lain, berbicara tentang peradaban pendidikan di Indonesia, pasti tidak akan
luput dari pesantren. Pesantren pada masa kolonial merupakan benteng pertahanan
penjajahan. Pesantren memiliki peran penting dalam membela bangsa dan negara.
Namun perkembangan pesantren pada saat itu belum mampu memadukan sinergitas antara
aspek kognitif/keilmuan dan spiritualitas. Sebaliknya, sekolah-sekolah bentukan
Belanda juga tidak memadukan aspek spiritualitas dalam pendidikannya. Akhirnya,
jebolan-jebolan pesantren pada saat itu hanya mampu menghasilkan ulama-ulama
dan sekolah-sekolah modern bentukan Belanda menghasilkan ilmuwan-ilmuan yang
miskin agama.
Saya
tidak menggeneralisasikan bahwa semua pesantren pada saat itu mencetak ulama
dan sekolah modern mencetak ilmuwan, akan tetapi yang ingin saya sorot disini
adalah apa yang terjadi dari sebuah peradaban mampu menghasilkan sebuah
kekuatan yang luar biasa.
Peradaban
dalam konteks kekinian
Peradaban
dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti kemajuan (kecerdasan, kebudayaan)
lahir batin. Bisa juga artinya hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa
dan kebudayaan suatu bangsa. Berpijak dari paparan sebelumnya, sebuah
pertanyaan besar masih sering muncul dalam benak saya, “apa peradaban kita”?
Maraknya
kasus korupsi yang sering sekali kita dengar di media, kemiskinan yang masih
saja melanda bangsa Indonesia, hutang negara yang tidak akan pernah ada
habisnya, ditambah lagi dengan tingkah laku beberapa oknum anggota dewan yang
sering mencontohkan perilaku tabu, membuat kita gerah dengan semua yang ada dan
semua ini tanpa terkendali seakan telah menjadi peradaban di negeri Bhineka
Tunggal Ika ini.
Jikalau
gereja kecil di Jerman pada saat itu mampu melahirkan tokoh-tokoh hebat karena
diatur dengan penuh disiplin dan Uni Sovyet pernah menjadi negara adidaya hanya
karena pembicaraan-pembicaraan hangat paham sosialis di warung-warung kecil,
mengapa bangsa Indonesia dengan penduduk lebih dari dua ratus lima puluh juta
ini belum mampu membuat sebuah peradaban yang melahirkan perubahan?
Maraknya
kasus-kasus amoral oknum anggota dewan dan skandal-skandal besar yang belum
terungkap, seakan membuat masyarakat gerah dengan semua yang ada. Saya tidak
memaparkan segala borok dari sebuah rezim, akan tetapi bagaimana sebuah
peradaban dalam konteks kekinian mampu mengubah paradigma publik akan semua
yang telah dialami bangsa ini. Kita masih menunggu sang pembuat peradaban itu
dinegeri ini!
Membuat peradaban
Pepatah mengatakan menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan.
Bila kita hari ini masih saja menunggu sang pembuat peradaban tadi muncul di
negeri ini, saya tidak yakin keadaan akan berubah siapapun presidennya yang
memimpin bangsa ini. Bukankah sang pemimpin negeri juga berasal dari rahim ibu
pertiwi? Maka dari itu perlu ada sebuah stimulus untuk melahirkan tokoh-tokoh
pembuat peradaban tadi.
Saya
menyoroti pemuda dalam hal ini. Bagaimana para pemuda/pemudi Indonesia
khususnya mahasiswa tidak lagi hanya menjadi agen perubahan akan tetapi lebih
dari itu agen peradaban. Saya melihat telah banyak yang diubah bila hanya
menjadi agen perubahan (agent of change), tetapi perubahan-perubahan kearah
kebaikan itu semua belum mampu menjadi sebuah peradaban yang bisa meningkatkan
harkat dan martabat kita dimata dunia.
Kita
sama-sama tahu reformasi birokrasi yang telah berjalan hingga detik ini, tetapi
jika budaya korupsi masih saja tertanam didalam jiwa elit politik negeri,
niscaya bengsa ini tidak akan pernah keluar dari keterpurukannya. Kita juga
sama-sama tahu gerakan-gerakan mahasiswa pasca reformasi sedikit banyak telah
kehilangan entitasnya sebagai gerakan idealis. Ini semua menjadi tugas berat
kita yang selalu menanti solusi untuk kebaikan bangsa Indonesia. Mengakhiri
tulisan ini sudah mampukah kita menjawab pertanyaan saya diawal tadi, “Apa
peradaban kita”? Wallahu’alam bisshowab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar