03 Januari 2013
Sejarah mencatat Negara Islam Indonesia
(NII) diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa
Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Yogyakarta. Sebab daerah de-facto RI pada saat itu hanya terdiri dari
Yogyakarta dan kurang lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta
perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda; perjanjian Linggarjati tahun
1947 hasilnya de-facto RI tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang perjanjian
Renville pada tahun 1948, de-facto RI adalah hanya terdiri dari Yogyakarta).
Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih dikuasai oleh
Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Islam Indonesia didirikan dan
diproklamirkan di dalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih dikuasai
oleh Kerajaan Belanda.
Negara Islam Indonesia dengan organisasinya Darul Islam dan
tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara
Islam Indonesia dihantam habis-habisan oleh Rezim Soekarno yang didukung oleh partai komunis Indonesia(PKI).
Sedangkan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam,
hanya tidak mendukung, walaupun organisasi Darul Islam yang pada mulanya
bernama Majlis Islam adalah organisasi dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan
diri. Seorang tokoh besar dari Masyumi almarhum M. Isa Anshary
pada tahun 1951 menyatakan bahwa "Tidak ada seorang muslim pun, bangsa apa dan dimana juga dia berada yang tidak bercita-cita
Darul Islam. Hanya orang yang sudah bejat moral, iman
dan Islam-nya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia. Hanya jalan dan cara memperjuangkan ideologi itu terdapat persimpangan dan perbedaan. Jalan bersimpang
jauh. Yang satu berjuang dalam batas-batas hukum, secara legal dan parlementer,
itulah Masyumi. Yang lain berjuang dengan alat senjata, mendirikan negara dalam
negara, itulah Darul Islam" (majalah Hikmah, 1951). Ketika Masyumi memegang pemerintahan, M Natsir mengirimkan surat
kepada S.M Kartosoewirjo untuk mengajak beliau dan kawan-kawan yang ada di
gunung untuk kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun M
Natsir mendapat jawaban dari SM Kartosoewirjo "Barangkali saudara belum
menerima proklamasi kami"(majalah Hikmah, 1951).
Setelah Imam
Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1962 rezim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang diteruskan oleh regim
Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam Negara Islam Indonesia sampai sekarang dengan pola yang sama. Pola
tersebut adalah dengan cara menugaskan bawahannya untuk melakukan pengrusakan,
setelah melakukan pengrusakkan bawahan tersebut "bernyanyi" bahwa dia
adalah anggota kelompok Islam tertentu. Atau melakukan pengrusakan dengan
menggunakan atribut Islam. Menurut salah seorang kapten yang kini masih hidup,
dan mungkin saksi hidup yang lainnya pun masih banyak, bahwa ada perbedaan
antara Darul Islam (DI) pengrusak dan DI Kartosuwiryo yakni atribut
yang dipergunakan oleh DI pengrusak (buatan Sukarno) berwarna merah sedangkan
DI Kartosuwiryo adalah hijau (darul_islam.tripod.com).
Dari
untaian sejarah tersebut diatas, jelas sudah bahwa sepak terjang Negara Islam
Indonesia (NII) telah lama ada dan mengakar di dalam rahim ibu pertiwi. Pada
masa Soeharto gerakan ini seakan tidur panjang sehingga tak terlihat secara
kasat mata. Hal ini juga tak lain karena setiap warga negara ditanamkan
ideologi yang kuat sejak dini yaitu penambahan muatan lokal pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah-sekolah ditambah lagi dengan
kepemimpinan Soeharto yang ‘tangan besi’. Hal ini membuat mereka yang berada
pada gerakan-gerakan separatis dapat diredam dengan cepat dan tanpa jejak.
Memasuki
era reformasi, gerakan-gerakan separatis yang notabene ingin memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai menunjukkan taringnya. Salah
satu dari gerakan separatis tersebut adalah Negara Islam Indonesia yang
cita-cita paripurnanya adalah mengubah ideologi Pancasila kepada asas Islam ala
Negara Islam Indonesia (NII). Hal ini tidak dapat ditolerir tentunya. Mengingat
Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang penduduknya tidak terdiri dari satu
suku bangsa saja dan juga Pancasila sebagai dasar negara merupakan ideologi
yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara
Islam Indonesia hanya satu dari sekian banyak gerakan separatis yang ingin
merongrong persatuan dan kesatuan bangsa. Sebut saja Gerakan Pengacau Keamanan
(GPK) di Irian Jaya (pada waktu itu sebelum berubah nama menjadi Papua) pada
masa Soeharto, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang juga ingin membentuk negara
sendiri dengan asas agama sebagai undang-undangnya, merupakan barisan-barisan
“sakit hati” atas kepemimpinan pada masa itu. Faktor diperlakukan tidak adil
memang salah satu alasan mengapa kian banyaknya gerakan-gerakan separatis ini
bermunculan ke permukaan. Sikap pemerintah pusat yang “pilih kasih” dalam
menegakkan hukum juga menjadi faktor pendukung lain yang menjadi stimulan
gerakan-gerakan separatis ini. Pondok pesantren juga disebut-sebut terlibat
dalam gerakan ini. Sebut saja Pondok Pesantren Az-Zaytun Indramayu yang sempat
menjadi bahan sorotan media akhir-akhir ini terkait keterlibatan pimpinannya
sebagai salah satu dari bagian Negara Islam Indonesia (NII).
Harus Tegas
Melihat
situasi yang berkembang ditengah-tengah masyarakat kita dewasa ini dengan
bermunculannya gerakan-gerakan separatis yang notabene mengkhawatirkan anak-anak
kita, sudah seharusnya orang tua sebagai pembentuk karakter anak dirumah,
menamkan pentingnya nilai-nilai Pancasila di aplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat. Tidak ada yang salah dari Pancasila. Bahkan ulama Libanon
baru-baru ini memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya untuk Indonesia
dengna Pancasilanya karena mampu hiduo rukun dengan berbagai ras, agama dan
suku bangsa dalam satu negara yang satu dan bertanah air satu dan berbangsa
satu, bangsa Indonesia.
Pentingnya penanaman
nilai-nilai kebhinekaan merupakan harga mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi
di negeri ini, mengingat rapuhnya nilai-nilai ini tertanam dalam sanubari
anak-anak negeri ini. Apabila nilai-nilai Pancasila tidak dapat dipahami dengan
baik oleh generasi muda, maka kita harus bersiap-siap dengan hilangnya negara
ini di suatu masa kelak. Hal ini bukan sebuah lelucon belaka, karena Negara Islam Indonesia masih ada dan tetap ada, walaupun sebagian
anggota-anggota Darul Islam sudah pada meninggal, namun ide Negara Islam
Indonesia masih tetap bersinar di muka bumi Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar