02 Januari 2013
Sejarah mencatat bahwa kisah
perang salib dan runtuhnya peradaban Islam di Andalusia adalah rentetan dari
dominasi lembaga gereja dan kediktatorannya. Yang membuat permasalahan semakin
rumit adalah gaya hidup kaum rohaniawan yang mirip dengan gaya hidup para raja
dan bangsawan sehingga mereka dikenal sebagai orang-orang yang terkaya di
Eropa. Ditengah-tengah kemelut pemberontakan itu, para ilmuwan berusaha mencari
cara agar dapat meruntuhkan dan menghancurkan para agamawan/pihak gereja. Karena
mereka melihat bahwa pada saat itu agama diwakilkan oleh gereja, maka dalam
upaya menghancurkan gereja harus ada upaya menghancurkan apa yang dijadikan
dalih penindasan oleh gereja. Dalam hal ini menurut mereka adalah agama. Karena
pada saat itu agama adalah sesuatu yang sangat penting, maka mereka mencari
cara untuk menggantikan posisi agama. Setelah berfikir panjang mereka
menemukannya yaitu hati nurani.
Para ilmuwan Eropa tersebut menganggap bahwa hati nurani
dapat menggantikan posisi agama. Pada mulanya mereka menetapkan nilai-nilai
kemanusiaan yang luhur. Slogan atas nama kemanusiaan selalu mereka dengungkan. Menurut
mereka, manusia memiliki hak dan kehormatan yang harus dijunjung tinggi. Tapi
mereka lupa bahwa manusia adalah ciptaan yang Maha Kuasa. Disinilah mulai
muncul pemisahan antara Tuhan dan manusia, agama dan negara. Secara logis dapat
diterima akal bahwa manusia memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dan dijunjung
tinggi. Namun disisi lain usaha mereka untuk mencari relevansi akal dan nurani
selalu berujung pada Tuhan sebagai sang Pencipta.
Paradigma akal dan nurani inilah yang kini terus terbawa
hingga ke zaman modern sekarang ini. Di zaman modern ini, tidak sedikit
cendekiawan-cendekiawan muda yang menuhankan akal mereka dalam segala aspek
kehidupannya. Mereka sengaja mengabaikan posisi Tuhan sebagai ‘The Creator’
jagad raya ini. Sebagai contoh kecil yang mulai marak dewasa ini adalah asmara
beda agama yang bermuara pada nikah beda agama.
Pernikahan lintas agama, jelas dilarang oleh Islam. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an yang melarang seorang mukmin dan mukminat untuk
menikahi seseorang selain Islam sampai ia beriman kepada-Nya. Sungguh seorang
budak lebih baik dibandingkan dengan seorang musyrik/musyrikah. Namun mereka,
para cendekiawan muda yang kebablasan akal dan pikirannya, menampik ayat ini
dengan ayat dari surat Al-Kafirun yang artinya; ‘Bagi kamu adalah agamamu dan
bagi kami agama kami’. Urusan cinta kita satu, urusan agama kita berbeda. Nah,
ketika fenomena-fenomena ini mulai marak ditengah-ditengah kita yang notabene
di diagung-agungkan oleh para sineas sebagai sebuah kebebasan, dimana kekuatan
umat Islam? Kekuatan untuk membendung
segala macam arus liberalisasi pemikiran yang kian kencang, kekuatan untuk
mengalahkan virus keduniawian yang mulai meracuni sendi kehidupan umat Islam. Semoga
Dia tidak murka kepada kita semua.
Agama dalam implementasinya hanya dijadikan sebatas simbol
yang mengagungkan dengan mengabaikan segala bentuk perintah dan larangan. Dewasa
ini kita umat Islam pada khususnya, mulai mendewakan segala bentuk ‘produk
budaya’ negatif yang mulai
merasuki alam pikiran kita. Sebagai contoh, peringatan valentine day,
Halloween, april mop, hingga pernikahan lintas agama yang jelas dilarang
dalam Islam. Kita lupa bahwa kita punya budaya yang lebih indah yang pernah ada
di bumi pertiwi ini. Kita juga lupa bahwa kita sebagai hamba Allah memiliki
aturan-aturan yang harus dijalankan sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Asmara atau yang lebih akrab disapa cinta, memang sering membuat
manusia lupa akan siapa dirinya. Ketika cinta menyapa seseorang, maka segalanya
akan terasa indah. Bahkan keindahan cinta tersebut mampu mengalahkan indahnya
cinta yang diberikan-Nya kepada kita di dunia ini. Tidak jarang kita jumpai
saat ini mereka yang rela menjual akidahnya demi meraih cinta dan
mempertahankan rumah tangganya. Bahkan fenomena ini seakan dilegalkan di
republik ini melalui tingkah para artis yang kurang memahami dan mendalami akan
agamanya tsb.
Akhirnya yang berkembang di masyarakat
dewasa ini adalah paradigma bahwa akidah dapat digadaikan demi meraih cinta
yang tak seberapa bila dibandingkan cinta-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya. Sudah
saatnya kita kembali kepada ajaran-Nya tanpa mengabaikan akal pikiran sebagai
manusia yang berbudaya. Agama dan akal pikiran dapat berjalan beriringan jika
manusia tidak sombong akan kehebatan akalnya yang belum seberapa. Wallahu’alam
bisshowab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar